Langsung ke konten utama

Kisah dalam Munaqosyah



Di madrasah tempatku mengajar, ada yang namanya munaqosyah. Munaqosyah adalah ujian lisan bagi kelas XII yang meliputi 4 bidang; Juz ‘Amma, Qiroatul Kitab, Muhadatsah Bahasa Arab, dan Conversation Bahasa Inggris. Sejak dulu kala, dengan ada atau tidak adanya Ujian Nasional, munaqosyah selalu menjadi salah satu syarat penentu kelulusan para santri. Jadi meskipun dulu ketika seorang santri lulus dalam Ujian Nasional tetapi gagal dalam munaqosyah, maka dia akan tetap dianggap tidak lulus sampai akhirnya melakukan remedi atau ujian ulang untuk munaqosyahnya, berapa kalipun itu (konon kabarnya ada yang pernah mengulang hingga 11 kali
).

Lalu yang lebih menegangkan, orangtua atau wali santri wajib mendampingi ketika munaqosyah dilaksanakan. Mereka diminta untuk duduk di belakang putra/putrinya ketika sedang diuji. Ini supaya orangtua bisa menyaksikan sendiri secara langsung bagaimana kemampuan putra/putrinya dalam menjawab pertanyaan dari para penguji.

Karena dianggap sebegitu sakralnya, anak-anak kelas XII betul-betul ndredeg (gugup) menjelang munaqosyah. Ada yang belum-belum sudah menangis, ada yang menangis sambil menjawab sepanjang ujian, ada yang menjawab dengan tangan dan bibir yang bergetar hebat, ada juga yang ngalamun sampai tidak sadar dengan apa yang ditanyakan padanya, pokoknya macem-macem!

Oh ya, sebelumnya, munaqosyah hanya diuji oleh penguji laki-laki saja. Namun tiga tahun belakangan, mulai ada penguji perempuan untuk anak putri. Kebetulan aku diamanahi untuk menguji babagan Bahasa Inggris. Sebuah tanggung jawab yang besar menurutku, karena ini merupakan dawuh dari Romo Yai secara langsung. Pesan Yai kepada kami, “Menilailah dengan objektif dan jujur. Jika lulus katakan lulus, jika tidak katakan tidak. Tidak usah lihat siapa orangtuanya dan sebagainya. Karena ini adalah babun ‘ilmy (perkara  ilmu), bukan babun rizky (perkara rizky).”

Bagi kyai kami, Drs. K.H. M. Najib Suyuthi, M. Ag. perkara ilmu harus dilakukan dengan objektif dan transparan, karena ini menyangkut pemahaman dan pengetahuan seseorang. Namun jika perkara rizky, kita boleh berbagi sesuka hati pada siapapun yang diinginkan. Masyaa Allah.

Uniknya, meskipun dilaksanakan setiap tahun dengan pola yang sama, munaqosyah selalu punya cerita yang berbeda.

Di tahun ini, ada 2 kejadian yang berkesan bagiku.

Pertama adalah momen ketika ada seorang santri putri yang hendak maju untuk diuji, sementara bapaknya menangis tersedu-sedu. Bapak tersebut menangis sampai menelungkupkan wajahnya ke meja panitera sehingga semua perlu menunggu beberapa saat sampai beliau tenang dan bisa mendampingi putrinya. Sesuatu yang jujur baru aku saksikan kali ini selama 3 tahun menguji. Hingga selesai munaqosyah pun, sang bapak masih berjalan sambil menangis. Di akhir waktu munaqosyah, sang bapak bercerita pada kami bahwa ternyata beliau teringat dengan mendiang istrinya selama munaqosyah berlangsung. Ya Allah.

Mungkin dulu istrinya menginginkan putrinya lulus dari Raudlatu Ulum atau bagaimana, entahlah.

Yang jelas ada asa dan harap yang dititipkan pada putrinya. Beruntungnya, alhamdulillah anak tersebut mampu melewati munaqosyah dengan sangat baik dan lulus satu putaran untuk semua bidang. Masya Allaah.

Kejadian kedua yang menurutku berkesan adalah munaqosyah di hari ke-7. “Budaya”nya, jika munaqosyah telah usai, maka santri akan berhambur menuju orangtua atau walinya masing-masing dan menangis mengharu-biru (tentu saja part ‘menangis mengharu-biru’ tidak ada dalam munaqosyah anak putra, ya 😆).

Waktu itu ada 1 anak yang menangis, sendirian, di ujung ruangan. Kudekati dan kutanya, “Kenapa?”

Jawabnya, “Ya pengen nangis aja, Buk. Yang lain nangis pada meluk orangtuanya.”

Alamak, hancur hatiku. Sebagai informasi, bapaknya memang sedang sakit sehingga tidak bisa mendampingi, sementara ibunya tidak bisa cuti dari pekerjaannya.

Serta merta kujawab, “Sini, Ibu peluk, ya!”

Tanpa jawaban, dia langsung membuka tangannya dan memelukku.

Sayangnya, aku ini memang nangisan alias cengeng. Jadi meskipun kukatakan padanya untuk tidak menangis lagi, tapi yang ada jadinya malah aku yang ikut menangis.

Semoga usaha kecil yang kulakukan itu, bisa termasuk idkholus surur, memasukkan kebahagiaan ke dalam hati orang yang beriman. Aamiin, amiin ya rabbal ‘alamiin.

Begitulah, munaqosyah selalu punya kisah. Semoga apapun itu, aku dan kalian semua bisa mengambil nilai kebaikan di dalamnya, amiin ♥️.

 

Di sudut kamarku,

13 Januari 2025

21:19

 


Komentar

  1. Ikut nangis di bagian "memeluk " dia yg menangis sendiri disudut ruangan... Sehat2 ibu guru baik🥰

    BalasHapus
  2. Aamiin terimakasih! 🥺❤

    BalasHapus
  3. ma'ammm aku nangiss, tahun depan giliran akuu, takuttt 😭

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semangat, yaaaa. Belajar, berdoa, InsyaAllah pasti bisa! 🥰

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ory; Si Anak Hebat yang Selalu Tak Percaya Diri

  Masih kuingat betul pertemuan pertamaku dengan Ory, saat itu dalam kegiatan debat Bahasa Inggris atau dalam madrasah kami disebut English Debate Club (EDC). Menjelang tahun awal pelajaran memang kusampaikan pada murid lama EDC, “Tolong ajak teman yang bagus Bahasa Inggrisnya untuk bergabung di sini, ya.” Lalu akhirnya, diajaklah Ory ke dalamnya oleh Dyna Syarifa, salah seorang dari muridku yang pernah menjuarai lomba pidato tingkat nasional itu. Pertama kali melihat “yang dibawa” Dyna adalah Ory, jujur aku lumayan terkejut. Karena pesanku sebelumnya, “Tolong ajak teman yang bagus Bahasa Inggrisnya.” Namun yang kudapati saat itu, “yang dibawa” adalah satu anak yang sangat jelas nampak tidak percaya diri dan hanya diam saja sepanjang kegiatan. Masih kuingat betul pula, saat itu tema yang kami bahas adalah tentang ‘Capital Punishment’ atau Hukuman Mati bagi para pejabat yang melakukan korupsi, sebaiknya dilakukan atau tidak. Sebelum anak-anak melakukan debat, seperti biasa, kum...

drg.Zulfikar

Assalamualaikum… Ceritanya, saya sedang terinspirasi oleh kebaikan seorang dokter gigi di kota saya ini. Singkat cerita, saya punya gigi yang berlubang sangat besar dan telah saya biarkan selama kurang lebih 15 tahun. Kalau tidak salah, gigi geraham saya ini berlubang sejak saya berumur 8 tahun, yaitu kelas 2 SD.  Sedangkan saya sekarang berumur 23 tahun (Parah ya?). Lubang ini saya biarkan saja, karena tidak sakit. Mungkin karena dulu masih kecil jadi kepedulian terhadap kesehatan gigi belum begitu saya perhatikan. Namun lambat laun, lubang ini semakin membesar. Hingga saya besar, saya katakan gigi ini sudah terlanjur sayang . Mau dicabut saya masih eman , tetapi  jika tidak pun lubangnya sangat besar dan sungguh mengganggu setiap kali saya makan. Berulang kali ke dokter gigi mana pun selalu disarankan untuk mencabut, namun saya tetap bersikeras tidak mau. Saya masih agak trauma, karena dulu pernah gigi geraham saya dicabut oleh seorang dokter gigi sehingga ada ompong d...