Assalamualaikum, Pak Cik. Terimakasih telah menulis novel
macam Guru Aini tu.
“Teachers who make Physics boring are
criminals.” (Walter Lewin)
Pak
Cik pasti lebih tahu siapa itu Pak Lewin. Yang jelas, “quote” beliau indah
sekali.
Saya
seorang guru, Pak Cik. Seorang guru
Bahasa Inggris.
Membaca
novel Guru Aini membuat saya tergelak sekaligus terharu.
Saya
bisa dengan tepat merasakan menjadi Aini, seorang anak yang sama sekali tak
becus dalam urusan matematika. Karena saya dulupun sama sepertinya. Tidak mengerti
dan tak kunjung mengerti matematika, lalu menjadi bebal dan putus asa
mempertanyakan dimana letak keindahannya. Belum lagi ditambah trauma dengan
para guru matematika yang selalu terkenal dengan ke-“horor”-annya.
Saya
juga sangat bisa dengan tepat merasakan kegelisahan ibu guru Desi Istiqomah, Pak Cik. Banyak sekali kesamaan di
antara kami ni, meskipun mungkin saya
tak sehebat beliau. Pening kepala ni Pak Cik, mengajar sudah menggebu- gebu macam
ni dan masih ada saja murid- murid yang
tak kunjung mengerti.
Persis
seperti ibu Desi Istiqomah yang menjadi guru karena (terinspirasi) Ibu Marlis,
saya menjadi guru juga karena seorang guru. Pak Harry Supriyanto namanya.
Terbelalak
mata saya ketika 15 tahun lalu saya duduk di bangku SMP, Pak Harry menjelaskan
dengan gamblang tentang konsep auxiliaries.
Dari situ terbukalah pintu- pintu hidayah, Pak
Cik. Mengerti semengerti- mengertinya saya konsep Bahasa Inggris yang
sebelumnya masih selalu saya bingungkan.
Lepas
dari SMP tu, saya yakin bahwa saya
hanya akan menjadi seorang guru Bahasa Inggris. Tidak minat masuk ke
universitas lain, tak mau banting setir ke jurusan yang lebih keren, atau
apalah tu. Sekali guru bahasa
Inggris, tetap guru bahasa Inggris. Menteri pendidikan pasti akan sangat bangga
padaku, Pak Cik.
Segala
puji bagi Allah, berjalan enam tahun sudah sekarang ni saya mengajar, Pak Cik.
Ada banyak suka duka yang bercampuraduk. Banyak sukanya, Alhamdulillah. Meskipun
bukan berarti bahwa saya tak pernah frustrasi dalam mengajar. Pening juga
kadang saya ni. Apalah lagi
penyebabnya kalau bukan karena kelakuan atau nilai- nilai siswa yang
menyedihkan.
Sering
juga saya temui murid seperti khas Kampung Ketumbi, Pak Cik. Yang pemalu, rendah diri, merasa tak bisa, dan selalu
memilih bangku- bangku di bagian belakang. Ah, biar itu menjadi urusanku, Pak Cik. Bagimu, tolong jangan pernah
berhenti menulis.
Kutunggu
dengan setia tulisan- tulisanmu selanjutnya, Pak Cik. Teruslah berkarya.
Terima
kasih telah menyumbang banyak untuk kekayaan jiwaku, mulai dari Laskar Pelangi
hingga apapun tulisanmu nanti.
Pati, Jawa Tengah
18 Januari 2021
21:29
-Bu Guru Rahma Nugrahaini-
Komentar
Posting Komentar