Langsung ke konten utama

Merdeka Belajar





Dear, Bapak- Ibu guru dan orangtua di rumah...

Apakah Bapak dan Ibu masih sering merasa frustrasi ketika anak- anak mendapatkan nilai jelek?

Atau malah menghukumnya? 

Perkenalkan, saya adalah seorang ibu sekaligus guru. Di rumah, saya memiliki 2 anak laki- laki dan di sekolah, saya memiliki ratusan murid. Selama ini, saya selalu berharap mereka semua mendapatkan nilai- nilai yang baik. Sebenarnya ini bukan sebuah kesalahan, ini normal. Tapi, ini juga tidak sepenuhnya sebuah kebenaran. 

Jika Bapak/ Ibu saat ini berusia sekitar 30 tahun (atau bahkan lebih), maka mungkin Bapak/ Ibu adalah millenials. Sebagai informasi, generasi milenial adalah mereka yang lahir pada rentang tahun 1980- 1995. 
Dalam era belajar kita dahulu, bisa dibilang bahwa nilai adalah segalanya. Jika kita menjadi 5 besar di kelas, maka orang akan menganggap kita siswa yang pintar. Pada era kita juga, Ujian Nasional (UN) adalah segalanya. Tidak peduli seberapa pintar atau rajin seseorang, jika dia gagal dalam UN, maka selesai sudah segala sesuatunya. Saya yakin Bapak- Ibu sekalian pasti masih ingat betul, betapa dulu saat kita masih menjadi pelajar, adalah sebuah hal yang “biasa” mendengar berita tentang bunuh diri yang dilakukan oleh para siswa yang gagal dalam UN. Sungguh ironis, bukan? 

Sebagai contoh lain, coba kita refleksikan apa yang kita alami sendiri belasan atau puluhan tahun silam. Saat kita mendapat nilai 80, 90, atau bahkan 100 sempurna untuk mata pelajaran matematika atau fisika, mampukah kita mengaplikasikan apa yang kita pelajari? Bisakah kita mempraktikan bagaimana arus listrik tercipta? Atau mungkin yang lebih sederhana, bisakah kita memahami konsep dimensi-tiga matematika dalam bangun kubus yang nyata? Saya sendiri, tidak. Bahkan ketika ndelalah  saya dapat nilai baik untuk mata pelajaran tersebut, ya itu karena kebetulan saya ingat rumusnya dan ndelalah  pas. Sama sekali bukan karena saya paham konsepnya. 

Pagi tadi, Alhamdulillah saya berkesempatan mengikuti seminar pendidikan bertema “Madrasah Berkelas Dunia” yang diadakan oleh madrasah tempat saya mengajar, MA Radulatul Ulum Guyangan, Trangkil, Pati. Pembicaranya, Dr. Amiroh Ambarwati, S.Pd., M.Hum, dengan luar biasa menjadi wasilah  masuknya “hidayah” ke dalam diri saya. Pembahasan beliau benar- benar membukakan mata dan pikiran, eye and mind-opening. 

Dr. Amiroh berkata, saat ini, Indonesia sedang berusaha menggalakkan “Merdeka Belajar.” Saya pribadi tahu istilah ini dari komunitas Guru Cikal di instagram. Bagi yang belum tahu, merdeka belajar adalah slogan dari Sekolah Cikal yang dipinjam sebagai program kebijakan baru Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 
Republik Indonesia (Kemendikbud RI) yang dicanangkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Kabinet Indonesia Maju, Nadiem Anwar Makarim. Konsep Merdeka Belajar ala Nadiem Makarim terdorong karena keinginannya menciptakan suasana belajar yang bahagia tanpa dibebani dengan pencapaian skor atau nilai tertentu. Kebijakan Nadiem tersebut bukanlah tanpa alasan. Pasalnya, hasil penelitian dari Programme for International Student Assesment (PISA)  tahun 2019, menunjukkan bahwa siswa menengah di Indonesia memiliki tingkat literasi keenam terbawah, atau nomor 74 dari 79 negara di dunia. 

Bagi kita (sayapun) sebagai seorang milenial, konsep tersebut mungkin bisa dibilang “aneh," karena kita memang tidak pernah dibesarkan dengan cara itu. Kita mungkin juga akan menganggap bahwa ini sekedar teori belaka. Tapi percayalah, ini konsep yang hebat, Bapak dan Ibu. SANGAT HEBAT. Bahwa betapa inilah saatnya kita bisa benar- benar merdeka. Merdeka untuk menentukan, bagaimana dan apa cara terbaik kita untuk belajar. Tanpa terbebani dengan nilai. 

Bagi saya setelah mengikuti seminar tadi, “nilai” di jaman sekarang ini, dapat diibaratkan seperti hasil  rapid-test  antigen Covid-19. Ada false negative, pun ada false positivenya. Bahwa nilai tidak bisa semata- mata dijadikan “mahadewi”, sesembahan para guru dan murid. Bahwa nilai hanyalah alat untuk screening test yang bias saja keliru, bukan hasil akhir. 

Tantangannya sekarang adalah, bahwa sistem kekinian ini akan sangat tepat bagi mereka yang betul- betul merasa bahwa pendidikan adalah kebutuhannya. Bagi mereka yang tidak, maka tinggal menunggu waktu yang tepat saja untuk benar- benar tergilas oleh zaman. 





5 September 2021,


Rahma Nugrahaini
Guru Bhs. Inggris MA Raudlatul Ulum

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ory; Si Anak Hebat yang Selalu Tak Percaya Diri

  Masih kuingat betul pertemuan pertamaku dengan Ory, saat itu dalam kegiatan debat Bahasa Inggris atau dalam madrasah kami disebut English Debate Club (EDC). Menjelang tahun awal pelajaran memang kusampaikan pada murid lama EDC, “Tolong ajak teman yang bagus Bahasa Inggrisnya untuk bergabung di sini, ya.” Lalu akhirnya, diajaklah Ory ke dalamnya oleh Dyna Syarifa, salah seorang dari muridku yang pernah menjuarai lomba pidato tingkat nasional itu. Pertama kali melihat “yang dibawa” Dyna adalah Ory, jujur aku lumayan terkejut. Karena pesanku sebelumnya, “Tolong ajak teman yang bagus Bahasa Inggrisnya.” Namun yang kudapati saat itu, “yang dibawa” adalah satu anak yang sangat jelas nampak tidak percaya diri dan hanya diam saja sepanjang kegiatan. Masih kuingat betul pula, saat itu tema yang kami bahas adalah tentang ‘Capital Punishment’ atau Hukuman Mati bagi para pejabat yang melakukan korupsi, sebaiknya dilakukan atau tidak. Sebelum anak-anak melakukan debat, seperti biasa, kum...

Kisah dalam Munaqosyah

Di madrasah tempatku mengajar, ada yang namanya munaqosyah . Munaqosyah adalah ujian lisan bagi kelas XII yang meliputi 4 bidang; Juz ‘Amma, Qiroatul Kitab, Muhadatsah Bahasa Arab, dan Conversation Bahasa Inggris. Sejak dulu kala, dengan ada atau tidak adanya Ujian Nasional, munaqosyah selalu menjadi salah satu syarat penentu kelulusan para santri. Jadi meskipun dulu ketika seorang santri lulus dalam Ujian Nasional tetapi gagal dalam munaqosyah , maka dia akan tetap dianggap tidak lulus sampai akhirnya melakukan remedi atau ujian ulang untuk munaqosyah nya, berapa kalipun itu (konon kabarnya ada yang pernah mengulang hingga 11 kali ☹ ). Lalu yang lebih menegangkan, orangtua atau wali santri wajib mendampingi ketika munaqosyah dilaksanakan. Mereka diminta untuk duduk di belakang putra/putrinya ketika sedang diuji. Ini supaya orangtua bisa menyaksikan sendiri secara langsung bagaimana kemampuan putra/putrinya dalam menjawab pertanyaan dari para penguji. Karena dianggap sebegitu sak...

drg.Zulfikar

Assalamualaikum… Ceritanya, saya sedang terinspirasi oleh kebaikan seorang dokter gigi di kota saya ini. Singkat cerita, saya punya gigi yang berlubang sangat besar dan telah saya biarkan selama kurang lebih 15 tahun. Kalau tidak salah, gigi geraham saya ini berlubang sejak saya berumur 8 tahun, yaitu kelas 2 SD.  Sedangkan saya sekarang berumur 23 tahun (Parah ya?). Lubang ini saya biarkan saja, karena tidak sakit. Mungkin karena dulu masih kecil jadi kepedulian terhadap kesehatan gigi belum begitu saya perhatikan. Namun lambat laun, lubang ini semakin membesar. Hingga saya besar, saya katakan gigi ini sudah terlanjur sayang . Mau dicabut saya masih eman , tetapi  jika tidak pun lubangnya sangat besar dan sungguh mengganggu setiap kali saya makan. Berulang kali ke dokter gigi mana pun selalu disarankan untuk mencabut, namun saya tetap bersikeras tidak mau. Saya masih agak trauma, karena dulu pernah gigi geraham saya dicabut oleh seorang dokter gigi sehingga ada ompong d...