Sebagian dari kita mungkin berpikir, keikutsertaan dalam seminar (baik tatap muka maupun webinar) hanyalah formalitas belaka.
Yang penting ikut…
Yang penting dapat sertifikat…
atau mungkin Yang penting dapat kenalan.
Tidak ada yang salah dari itu semua, sah-sah saja. Sama seperti
halnya ketika orang melakukan hal baik, bukan? Ada yang mengerjakannya karena
ingin mendapat pahala, ada yang ingin masuk surga, atau ada yang ingin terlihat
baik saja. Dan semua itu boleh- boleh saja, toh dia tetap melakukan sebuah kebaikan.
Beberapa waktu belakangan, saya merasa senang sekali karena merasa
sudah mendapatkan platform yang tepat untuk belajar, yaitu di British
Council (BC). BC merupakan organisasi dari Inggris dimana salah satu fokusnya
yaitu pada pengajaran Bahasa Inggris. Para guru, terutama guru Bahasa Inggris,
bisa mengakses rancangan pembelajaran, ide mengajar, podcast hingga mengikuti webinar.
Dalam tulisan kali ini, saya ingin membagikan sedikit tentang sebuah
kegiatan (yang saya ikuti) yang saya rasa telah mengubah persepsi saya selama
ini dalam mengajar, yaitu podcast dari BC. Untuk pengalaman webinar, mungkin akan saya ceritakan lain kali.
Podcast yang saya simak saat itu berjudul How can I use
different languages in my teaching? Dalam podcast tersebut, Sue Ollerhead,
seorang guru dan peneliti dari Sydney, Australia mengatakan,
“Bahasa bawaan siswa adalah kekuatan dan alat
bantu, bukan penghalang dalam belajar. Guru bahkan harus mempelajari bahasa
murid mereka dan menghargainya. Guru juga harus memberi mereka kesempatan untuk
dapat berpikir dan berbicara dalam bahasa mereka sendiri satu sama lain. Yang
demikian disebut dengan pengembangan ekologi multi-bahasa yang sehat dalam
kelas.”
Entah bagaimana, jujur
setelah mendengar kata-kata yang indah tersebut, saya sedikit merasa berdosa.
Ini mengingatkan saya pada kejadian beberapa tahun lalu, saat dalam kegiatan ECC (English Conversation Club) dimana saya “memaksa”
anak-anak untuk berbicara hanya dalam Bahasa Inggris. Saya masih ingat, saat
itu saya berkata, “Tidak
apa, ayo bicara sebisanya. Kalau tidak bisa akan Bu Rahma bantu.”
Tapi, bagaimana bisa?
Bagi anak yang memiliki
kemampuan Bahasa Inggris memadai, mungkin peraturan ini akan dianggap oke-oke
saja, mereka akan senang- senang saja bahkan merasa tertantang. Tapi bagaimana bagi
anak yang baru akan belajar? Dan nahasnya, itulah yang saat itu terjadi.
Banyak dari mereka yang
kemudian memilih diam (saya menyebutnya silent English) sehingga kegiatan tentu
saja menjadi kurang seru dan menyenangkan. Bahkan ada dari mereka yang kemudian
memutuskan tak lagi bergabung ECC. Mereka tidak lagi hadir pada beberapa pertemuan
setelahnya. That’s
my bad, I confess. Itu salah saya.
Dulu saya berpikir, bahwa
untuk bisa harus “dipaksa”. Tapi ternyata bukan, tidak seperti itu.
Untuk bisa, yang pertama
adalah, anak harus merasa nyaman saat belajar. Ketika seorang murid merasa
bahwa bahasanya dihargai dan pendapatnya didengarkan, menurut saya itu akan
memudahkan prosesnya dalam mempelajari bahasa asing apapun.
Semakin kesini, saya semakin
menyadari bahwa apa yang dikatakan Sue benar adanya. Dalam ECC pun saya jelas
berbeda dari yang dulu. Ketika saya minta anak-anak bercerita misalnya dan ada
dari mereka yang hanya mampu mengucapkan silent English (diam seribu bahasa), saya akan
memintanya untuk bercerita dalam Bahasa Indonesia saja.
“You can share this in Indonesian, it’s okay,” begitu saya sekarang akan
merespon. Paling tidak ketika murid mampu menceritakannya dalam bahasanya, dia
tetap belajar untuk berpikir kritis dan menceritakan sesuatu secara runtut.
Satu hal lain yang saya
sadari berikutnya adalah bahwa tidak ada bahasa yang lebih superior dari bahasa
lainnya. Ketika seorang Jawa belajar Bahasa Inggris, bukan berarti bahwa Bahasa
Inggris lebih baik kedudukannya dari bahasanya sendiri, begitupun sebaliknya.
Kita harus tetap merasa
bangga dengan entitas kita, dan menggunakannya sebagai alat bantu untuk mempelajari
apapun, bukan malah menjadikannya sebagai penghalang.
Pembicaraan Sue Olliver dalam
podcast tadi dilanjutkan oleh Mei
French dan Kerry Taylor-Leech, seorang dosen dari Griffith University Queensland.
Tak kalah menarik dan hebat, tapi mungkin akan saya ceritakan lain kali.
Akhirnya, bisa saya simpulkan
bahwa podcast, webinar, atau apapun itu mungkin
benar-benar bermanfaat, dan sertifikat adalah bonusnya!
Pati, 27 Februari 2024.
22.01
Komentar
Posting Komentar