“Kamu kan kakaknya, ya harus ngalah!”
Kalimat seperti
itu mungkin sangat sering kita dengar, atau mungkin kita ucapkan (?).
Anak pertama yang
tentu lebih besar, sering dianggap sebagai ‘anak anti badai’ yang harus bisa diajak
kompromi, terlebih dalam menghadapi adik yang lebih kecil.
Kurang lebih dua
tahun lalu, saat anak besarku Azka masih duduk di bangku TK kecil, dia sempat mengalami
semacam gangguan kecemasan yang berlebihan.
Azka menurutku
sudah tidak baik-baik saja saat itu. Selama berminggu-minggu, dia selalu murung
dan overthinking. Sering menangis sendiri, bahkan kadang sampai
memikirkan tentang kematian dan lain sebagainya. Hal-hal “aneh” yang seyogyanya
tidak dipikirkan anak seusianya, dia pikirkan, seperti “Ibuk, gimana kalau nanti
Kaka besar, ada orang mati, Kaka gak bisa ngurus? Kaka takut kalo ga bisa,”
ucapnya suatu hari sambil menangis. Ada banyak lagi hal-hal aneh yang menurutku
tidak perlu dia pikirkan.
Pernah juga suatu saat dia bercerita bahwa ada seorang teman di sekolahnya yang nakal, yang selalu
mengambil sepedanya tanpa izin, tapi aku tidak yakin juga itu penyebabnya.
Tak tahan melihatnya
seperti itu terus, akhirnya kumantapkan membawanya ke seorang psikolog terdekat
dari rumah saat itu, Pak Abdillah namanya. Sebelumnya kuyakinkan pada Azka
bahwa kita akan berobat, supaya dia tidak sedih lagi. Aku sempat berpikiran
apakah anakku terkena ‘anxiety’, tapi tidak terlalu yakin juga. Sebagai
informasi, anxiety adalah sebuah gangguan kecemasan berlebihan yang
terjadi pada seseorang dalam waktu relatif lama hingga mengganggu aktifitas sehari-hari.
Singkat cerita
kami tiba di ruangannya, dan aku menceritakan semua yang terjadi. Di luar
dugaan, Pak Abdillah menanyakan banyak hal di luar itu. Aku masih ingat betul,
pertanyaan pertamanya adalah,
“Di rumah
tempat tinggal Ibu, ada siapa saja, Bu?”
Kujawab, “Ada
saya, bapaknya, mbahnya, dan adeknya, Pak.”
Beliau bertanya
lagi, “Berapa usia adeknya?”
“Tiga tahun.”
Dan masih
baaanyak pertanyaan lagi.
Sembari aku menceritakan
semua itu, Azka diminta menggambar di kertas kosong.
Pada beberapa
bagian dia juga ditanya banyak.
Kurang lebih
satu jam kami di ruangan itu, dan akhirnya Pak Abdullah menjelaskan pada saya
dengan hati-hati.
Intinya, Azka
mengalami gangguan kecemasan, tapi BUKAN anxiety. Beliau menjelaskan, anxiety
hanya terjadi jika faktor kecemasannya terpusat pada satu hal tertentu saja.
Sedangkan apa yang dialami Azka, tidak seperti itu. Dia mencemaskan banyak hal
sekaligus dan itu bisa berubah-ubah. Tenyata betul, kita tidak boleh self-diagnose
alias mendiagnosa diri sendiri hanya berdasarkan informasi dari ‘Mbah Google’.
Alhamdulillah kabar baiknya, menurut Pak Abdillah, ini masih bisa dikendalikan.
Kutanya pada Pak
Abdillah, apa sebabnya? Kenapa dia bisa mencemaskan banyak hal yang tidak perlu?
Kenapa dia bisa begitu overthinking hanya karena sepedanya diambil
temannya tanpa izin, misalnya?
Pak Abdillah
menjelaskan, itu karena di rumah dia selalu dituntut untuk mengalah. Desakan
dari kami untuk seringkali memintanya mengalah pada adiknya menjadi salah satu
pemicunya. Sehingga dia tidak merasa punya kontrol atas apapun, sekalipun itu dirinya
sendiri, atau barang miliknya sendiri. Sehingga ketika ada suatu ‘cobaan’
menghampirinya, dia tidak memiliki pertahanan yang kuat untuk menghalaunya,
untuk berkata tidak, dan untuk tidak mengalah.
Mengapa ketika
sepeda kesayangannya diambil tanpa izin oleh temannya, perasaannya bisa sesakit
itu? Bukankah itu hal yang sangat sepele? Kata Pak Abdillah, itu terjadi karena
sepeda merupakan satu-satunya ‘pelariannya’. Satu-satunya barang yang dia
miliki dan bukan adiknya. Maka ketika satu-satunya pertahanannya diambil oleh
seseorang, hancurlah dia.
Tapi kenapa
adiknya tidak menye-menye begitu? Kenapa dia lebih kuat dari kakaknya?
Pak Abdillah
menjawab, “Oh, ya pasti beda Buuk... Dia selalu merasa dituruti sedari kecil.
Dia selalu bisa mendapatkan apa yang diinginkannya karena orang lain yang
mengalah.”
Hatiku hancur
rasanya, tapi masih kutahan-tahan.
Di penghujung
pertemuan Pak Abdillah berpesan, “Ini saatnya jenengan menebus apa yang
sudah terlanjur terjadi selama ini. Dari usia sekarang (saat itu dia berumur 5 hampir 6)
hingga 10 tahun nanti, isi sepenuh-penuhnya dengan apapun yang bisa membuat dia
tidak lagi merasa seperti itu. Mbah di rumah juga dikasih tau, jangan meminta
dia untuk mengalah terus ya, Buk. Saya yakin dia akan baik-baik saja.”
Sekeluarnya aku dan Azka dari ruangan, akhirnya tidak bisa lagi kubendung air mataku.
Aku merasa berdosa.
Azka bertanya, “Ibuk
kenapa?”
Kukatakan, “Ibuk
gak apa-apa, Mas. Maafin Ibuk, ya.”
Dia
mengangguk-angguk.
Selepas kejadian
itu, aku berusaha keras untuk tidak selalu memintanya mengalah. Kusampaikan
juga pada bapak dan mbahnya di rumah untuk tidak seperti itu. Azka bahkan berkata pada mbahnya sendiri, “Lho
Mbah, kata pak dokter, aku gak boleh ngalah terus lho, Mbah!”
Alhamdulillah sekarang Azka sudah menjadi anak yang ceria, dan tidak seperti dulu lagi.
Dia sudah sembuh.
No perfect
parents ever, even me. Tapi insya Allah,
kami akan terus memperbaiki diri.
Semoga
anak-anakku Azka dan Nizar bisa bertumbuh menjadi anak yang soleh, baik, dan bahagia.
Aamiin…
Semangat azkaa,, hiks ikutan mewek
BalasHapusAamiin, terimakasih yaa 🥰🙏
BalasHapusTerimakasih bunda ceritanya menginspirasi sekali, menjadi pengingat untuk sll belajar & berusaha untuk jd ortu yg baik untuk anak2..🥰
BalasHapusAlhamdulillah.. Sama2, Bundaa. Semangaat 🥰
BalasHapusBu Rahma ceritanya dikemas dengan sungguh epik, di penghujung cerita saya sempat mrebes mili netes iluh ku,
BalasHapusTerima kasih pelajaran baiknya bu,😭