Masih
kuingat betul pertemuan pertamaku dengan Ory, saat itu dalam kegiatan debat
Bahasa Inggris atau dalam madrasah kami disebut English Debate Club (EDC).
Menjelang tahun awal pelajaran memang kusampaikan pada murid lama EDC, “Tolong
ajak teman yang bagus Bahasa Inggrisnya untuk bergabung di sini, ya.” Lalu akhirnya,
diajaklah Ory ke dalamnya oleh Dyna Syarifa, salah seorang dari muridku yang
pernah menjuarai lomba pidato tingkat nasional itu.
Pertama
kali melihat “yang dibawa” Dyna adalah Ory, jujur aku lumayan terkejut. Karena
pesanku sebelumnya, “Tolong ajak teman yang bagus Bahasa Inggrisnya.” Namun yang
kudapati saat itu, “yang dibawa” adalah satu anak yang sangat jelas nampak
tidak percaya diri dan hanya diam saja sepanjang kegiatan.
Masih kuingat
betul pula, saat itu tema yang kami bahas adalah tentang ‘Capital Punishment’
atau Hukuman Mati bagi para pejabat yang melakukan korupsi, sebaiknya dilakukan
atau tidak. Sebelum anak-anak melakukan debat, seperti biasa, kuminta mereka
mencari sumber-sumber terlebih dahulu untuk diambil beberapa poinnya. Lalu tibalah
saatnya Ory berbicara. Dengan kepala menunduk, suara yang ‘super duper’ pelan,
dia menyampaikan pendapatnya (yang tak sepenuhnya kudengar) dengan sangat tidak
percaya diri.
Beberapa
hari setelahnya, ketika aku bertemu Dyna, kuinterogasilah dia.
“Dyn,
kamu serius ngajak Ory?”
“Serius,
Ma’am. Dia itu pinter.”
“Ya
tapi kenapa gitu? Dia gak berani ngomong, lho.”
“Iya
emang gitu Ma’am, tapi dia itu pinter aslinya. Dia bisa ngomong Bahasa
Inggris lancar dan pengetahuan umumnya juga luas banget,” jawab Dyna saat itu.
Akhirnya,
baiklah. Waktu berjalan dan kami melanjutkan EDC seperti biasa.
Hingga
pada saat itu kami melakukan kegiatan selingan berupa “curhat” dalam Bahasa
Inggris tentang apa saja, lalu anak-anak menyampaikan ceritanya masing- masing.
Tentu saja kukatakan pada anak-anak, “Ceritakan yang boleh diceritakan saja.
Saya tidak memaksa kalian.”
Saat
tiba giliran Ory, saya tercekat. Dan mungkin anak-anak lainnya juga.
Ory
bercerita dengan menahan air mata, dengan Bahasa Inggris yang sangat baik, tentang
masa lalunya yang tidak menyenangkan. Tak perlu kuceritakan di sini seperti
apa, yang jelas dia telah mengalami masa-masa sulit yang mungkin tidak pernah
kalian bayangkan sebelumnya.
Sebagian
dari kami ikut menangis pula saat dia menceritakan semua tentang dirinya. Baru setelah
itu aku sadar sepenuhnya, dia anak yang hebat. Dia hanya perlu dukungan untuk
berani mengangkat kepalanya dan berdiri dengan tegak seperti teman-teman lain
seusianya.
Saat aku
bertemu Dyna lagi beberapa saat setelahnya, kami membahas tentang itu. Dyna mengiyakan
semua yang ada dalam cerita Ory, dan bahkan menambahkan, Ory pernah beberapa
kali melakukan self-harm (bagian ini tidak diceritakan Ory dalam sesi ”curhat”
tempo hari, dan sampai aku menulis ini dia tidak tahu bahwa aku tahu tentang
ini).
Satu kalimat
yang sampai saat ini kuingat betul, Dyna berkata lagi, “Ma’am Rahma, Ory
bilang, setelah ikut debat, dia merasa hidup kembali.”
Ya Allah.
Saat itu aku betul- betul terharu.
Tidak pernah
kubayangkan sebelumnya bahwa Bahasa Inggris bisa menjadi ‘jalan sembuh’ bagi
Ory. Karena dalam debat, aku hanya melakukan yang perlu kulakukan. Aku merasa
tidak melakukan apa-apa.
Dia bersama
timnya (bersama Dyna dan Dzihny) bahkan berhasil pula menjadi juara 1 tingkat
Kabupaten Pati dan juara 3 Provinsi Jawa Tengah dalam ajang bergengsi Debat Bahasa
Inggris MQK dari Kementerian Agama.
Dan aku
memang melihat, Ory hari ini jauh berbeda dari yang sebelumnya. Sekarang dia
banyak bercanda, banyak tertawa, dan yang terpenting, berani mengungkapkan apa
yang ada dalam kepalanya.
Apakah
dia benar-benar sudah sepenuhnya percaya diri? Jawabnya, belum.
Sama seperti
kita semua, dia juga berproses, meniti jalan untuk selalu menjadi lebih baik.
Beberapa
hari lalu saat diadakan seleksi pidato Bahasa Inggris untuk menjadi wakil anak-anak
dalam acara muwadda’ah (wisuda), kulihat Ory mengikuti. Dan menurutku,
dia memang yang terbaik.
Setelah resmi terpilih, Ory lagi-lagi tak percaya diri. Dia berkata, “Ma’am, banyak teman yang bilang, seharusnya bukan Ory. Ory juga anak orang biasa Ma’am, dan ada yang lebih bagus dari Ory.”
Kukatakan
padanya, “Hasil seleksi menunjukkan bahwa kamu yang terpilih. Maka yang terbaik
adalah kamu, bukan apapun dan siapapun seperti kata teman-temanmu. “
Kukatakan
padanya lagi, dia harus percaya diri. Sama seperti dia berhasil menaklukkan
lomba debat, maka pidato kali ini harus ditaklukkannya juga, karena dia mampu.
Ory mengangguk dan menangis, dan aku menahan tangis.
Hingga
tiba saatnya muwadda’ah tiba, jantungku berdebar kencang bukan buatan ketika
Ory hendak maju menyampaikan pidatonya. Aku takut dia tidak percaya diri, aku
takut dia lupa, ah, pokoknya takut.
Alhamdulillah,
semua yang kutakutkan dan khawatirkan tidak terjadi. Ory bisa berpidato secara
gemilang, tanpa kesalahan suatu apapun. Kyai kami bahkan memberinya pujian, “Bahasa
Inggrisnya bagus sekali, lepas, dan pengucapannya baik sekali.”
Aku
tak kuasa menahan tangis ketika itu. Hal ini menunjukkan pada kita semua, bahwa
terkadang kita hanya perlu diyakinkan bahwa kita bisa. Dan bahwa daya juang dan
usaha, dapat menaklukkan beberapa hal yang dianggap tak bisa.
Selamat,
Ory! You did it.
Sebagai bonus,
kusertakan sedikit isi chat-ku dengan ibunya melalui Whatsapp.
Malam harinya,
Ory membalas sendiri pesanku itu:
Semoga
kita semua, tentu termasuk saya, bisa mengambil semua kebaikan dari kisah nyata
ini.
Selamat
berjuang untuk masa depan yang lebih cerah, Ory! Semangat!
Ps. Tulisan ini saya publikasikan setelah mendapat izin dari yang bersangkutan.
Nangis bacanya😭
BalasHapusNgetiknya jg, Bu 😭
HapusMasyaaa Allaaah ikut terharu😭sukses selalu buat ory, selamat menyongsong masa depan dg lebih semangat n percaya diri ya.
BalasHapusAamiiin, amiiin.. Terimakasih yaa :)
BalasHapus