Langsung ke konten utama

Memori tentang Bapak



Assalamualaikum...
Ceritanya hari ini aku dan keluarga melayat saudara, seorang bulik di Banyumanik.
Meski sudah kurang lebih sebulan dari masa meninggalnya, namun kami memang baru bisa kesana. Kami berada di Kalimantan waktu itu, dan tidak bisa pulang.
Sedih... Tidak bisa mengantar bulik untuk yang terakhir kalinya.
Singkat cerita, Om Ali, istri bulik almarhumah, menceritakan setiap detail perjalanan sakit bulik sampai beliau tidak ada. Sungguh... Kami menunduk menahan haru. Air mata serasa sudah di penghujung mata, namun kami sekuat hati menahannya. Kami tidak ingin membuat Om dan keluarganya merasa sedih kembali.
Om Ali berkata, bahwa meskipun dalam rumah tangga mereka seringkali terjadi cek cok karena beda pendapat, namun setelah 25 tahun bersama dan kemudian ditinggal, beliau merasa menjadi pincang. Bahwa ada separuh dari dirinya yang hilang entah kemana.
Sampai rumah kurenungi cerita Om Ali tadi. Dan pikiran ini tiba- tiba kembali ke masa bapak tiada. Jelas sekali, memori- memori itu serasa film yang diputar di pelupuk mata. Saat bapak 9 bulan terbaring di tempat tidur tanpa bisa kemana- mana, saat bapak seringkali menangis sendiri membayangkan dirinya sendiri kalau sudah tiada nanti. Dan saat terakhir kali bapak dirawat di rumah sakit... Itu yang paling menyedihkan untuk diingat. Bapak masih sadar sepenuhnya saat meminta sendiri untuk dirawat di rumah sakit saat itu, karena merasa sudah tidak kuat lagi. Kami sekeluarga pun membawanya kesana, dengan harapan kondisinya membaik. Hal seperti ini bukan hal yang baru, karena sebelum itu bapak sudah seringkali bolak- balik ke rumah sakit.
Namun ada yang beda setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit saat itu...
Entah mungkin “visualisasi dunia lain” yang sudah membayangi entah apa, aku sendiri tak tahu jelasnya. Bapak mulai setengah “terbawa” ke bukan dunia fana. Mulai dari bapak merasa bahwa infus yang di sebelahnya adalah jam... Lalu saat bapak merasa tidur di atas air... Hingga saat bapak merasa ada kehadiran ibunya, yang puluhan tahun telah tiada. Kami mulai takut, mereka- reka sesuatu yang buruk, meskipun berusaha menepisnya dengan harapan baik.
Keesokan hari dari hari tersebut pun bapak masih sadar. Di pagi hari beliau menanyakan mengapa aku tidak berangkat ke sekolah. Dan aku bersyukur sekali, kala itu kujawab sambil tersenyum, “Iya pak, tidak sekolah. Di sini saja menemani bapak.” Sebenarnya ibu yang memintaku untuk tidak pergi sekolah, karena kondisi bapak yang memang sudah drop tersebut. Pagi itu kuingat betul bapak mau kusuapi biskuit, meski hanya sekitar satu setengah keping, tapi aku senang sekali. Akhirnya bapak mau makan. Bapak biasanya, di kala bugar, selalu mau makan enak. Namun saat itu, beliau seperti kehilangan selera makannya.
Beberapa saat setelah itu bapak lebih sering tidur... Jarang membuka mata. Saat bapak membuka mata, entah itu di hari yang sama atau keesokan harinya aku lupa, kami menelfonkan bapak pada kakak tertuaku yang berada di Kalimantan. Bapak saat itu sudah tidak bisa berbicara. Hanya mengeluarkan suara namun tidak berbicara, begitu lebih tepatnya. Suaranya mungkin seperti igauan. Bapak “mengigau” dan meneteskan air mata saat itu. Kami di sekelilingnya pun ikut menangis... Kami tahu bapak rindu pada kakak tertuaku yang tinggal jauh dari kami. Kakak yang awalnya tidak berencana pulang, ternyata akhirnya memutuskan untuk pulang. Dia berkata pada bapak di telfon, “Pak... Tunggu aku.” Kami merasa antara bahagia dan marah saat itu. Bahagia karena dia pada akhirnya memutuskan untuk pulang, dan marah karena betapa teganya dia berkata pada bapak untuk “menunggu”, mengingat kondisi bapak yang sudah sangat menyedihkan. Namun akhirnya dia pulang... Singkat kata dia sampai di rumah sakit pukul 10 malam. Dia datang dan langsung menghambur menuju ranjang sakit bapak. Kami semua menangis. Antara haru dan sedih. Ya Allah... Alhamdulillah akhirnya dia berkesempatan untuk menemui bapak. Meskipun saat itu, bapak sudah tidak membuka mata. Bapak sudah kehilangan kesadaran. Kami di sekelilingnya terus mentalqin, mengaji, dan mengucapkan semua kalimat illahiyah di telinganya. Sampai akhirnya bapak memang tidak pernah membuka mata lagi, saat ruh-nya telah dicabut malaikatNya kurang lebih pada pukul 2 pagi.
Ya... Kakakku berkesempatan untuk membisikkan kalimat- kalimat Allah selama kurang lebih empat jam di sampingnya. Lalu sampai akhirnya dokter menyatakan bapak sudah tidak ada, dan kami pulang naik ambulan menuju rumah kami.

Cerita ini kutuliskan lagi karena memori lama ini tiba- tiba begitu kuat muncul di pelupuk mataku. Aku hanya ingin berbagi, bahwa perpisahan pasti akan ada. Tinggal kita atau orang lain yang mendapat giliran untuk “pindah dunia” terlebih dahulu. Semoga aku, kalian, bisa menjadi anak- anak yang soleh/ah untuk orang tua kita masing- masing. Betapa mereka tidak sempurna, betapa kita pun demikian, semoga kita selalu bisa memperbaiki diri  dan menjadi yang terbaik kebanggan mereka. Mari kirimkan doa sebanyak- banyaknya, mari cintai mereka sebisa- bisanya. Semoga Allah menghadiahkan kita, orangtua kita, dan saudara- saudara muslim kita, sebaik- baik kehidupan dan sebaik- baik kematian. Aamiin... Allahumma aamiin...

Ditulis dengan sepucuk rindu untuk bapak.
Kudus, 22 Maret 2014 (22.18)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ory; Si Anak Hebat yang Selalu Tak Percaya Diri

  Masih kuingat betul pertemuan pertamaku dengan Ory, saat itu dalam kegiatan debat Bahasa Inggris atau dalam madrasah kami disebut English Debate Club (EDC). Menjelang tahun awal pelajaran memang kusampaikan pada murid lama EDC, “Tolong ajak teman yang bagus Bahasa Inggrisnya untuk bergabung di sini, ya.” Lalu akhirnya, diajaklah Ory ke dalamnya oleh Dyna Syarifa, salah seorang dari muridku yang pernah menjuarai lomba pidato tingkat nasional itu. Pertama kali melihat “yang dibawa” Dyna adalah Ory, jujur aku lumayan terkejut. Karena pesanku sebelumnya, “Tolong ajak teman yang bagus Bahasa Inggrisnya.” Namun yang kudapati saat itu, “yang dibawa” adalah satu anak yang sangat jelas nampak tidak percaya diri dan hanya diam saja sepanjang kegiatan. Masih kuingat betul pula, saat itu tema yang kami bahas adalah tentang ‘Capital Punishment’ atau Hukuman Mati bagi para pejabat yang melakukan korupsi, sebaiknya dilakukan atau tidak. Sebelum anak-anak melakukan debat, seperti biasa, kum...

Kisah dalam Munaqosyah

Di madrasah tempatku mengajar, ada yang namanya munaqosyah . Munaqosyah adalah ujian lisan bagi kelas XII yang meliputi 4 bidang; Juz ‘Amma, Qiroatul Kitab, Muhadatsah Bahasa Arab, dan Conversation Bahasa Inggris. Sejak dulu kala, dengan ada atau tidak adanya Ujian Nasional, munaqosyah selalu menjadi salah satu syarat penentu kelulusan para santri. Jadi meskipun dulu ketika seorang santri lulus dalam Ujian Nasional tetapi gagal dalam munaqosyah , maka dia akan tetap dianggap tidak lulus sampai akhirnya melakukan remedi atau ujian ulang untuk munaqosyah nya, berapa kalipun itu (konon kabarnya ada yang pernah mengulang hingga 11 kali ☹ ). Lalu yang lebih menegangkan, orangtua atau wali santri wajib mendampingi ketika munaqosyah dilaksanakan. Mereka diminta untuk duduk di belakang putra/putrinya ketika sedang diuji. Ini supaya orangtua bisa menyaksikan sendiri secara langsung bagaimana kemampuan putra/putrinya dalam menjawab pertanyaan dari para penguji. Karena dianggap sebegitu sak...

drg.Zulfikar

Assalamualaikum… Ceritanya, saya sedang terinspirasi oleh kebaikan seorang dokter gigi di kota saya ini. Singkat cerita, saya punya gigi yang berlubang sangat besar dan telah saya biarkan selama kurang lebih 15 tahun. Kalau tidak salah, gigi geraham saya ini berlubang sejak saya berumur 8 tahun, yaitu kelas 2 SD.  Sedangkan saya sekarang berumur 23 tahun (Parah ya?). Lubang ini saya biarkan saja, karena tidak sakit. Mungkin karena dulu masih kecil jadi kepedulian terhadap kesehatan gigi belum begitu saya perhatikan. Namun lambat laun, lubang ini semakin membesar. Hingga saya besar, saya katakan gigi ini sudah terlanjur sayang . Mau dicabut saya masih eman , tetapi  jika tidak pun lubangnya sangat besar dan sungguh mengganggu setiap kali saya makan. Berulang kali ke dokter gigi mana pun selalu disarankan untuk mencabut, namun saya tetap bersikeras tidak mau. Saya masih agak trauma, karena dulu pernah gigi geraham saya dicabut oleh seorang dokter gigi sehingga ada ompong d...