Langsung ke konten utama

Kampanye: Jangan Bandingkan Apel dengan Anggur


Musim pemilu sedang gencar- gencarnya berlangsung. Tua- muda, laki- perempuan, tahu- tidak tahu, semua terserang euforia gembar- gembor capres idaman.
Saya pribadi tentu punya pilihan dalam pemilu kali ini. Pun begitu saya tak mau terlalu lebay alias berlebihan. Karena siapapun yang terpilih, toh insya Allah sudah diambil dari dua bapak terbaik bangsa ini.
Insya Allah, saya jatuhkan pilihan saya kelak pada bapak Jenderal Baret Merah, Bapak Prabowo Subianto. Anda pasti bertanya kenapa? Dan saya lalu bisa juga menjawab kenapa tidak. Lalu anda pasti akan mengingatkan saya tentang penculikan, HAM, kediktatoran, keotoriteran, dan hal lain yang sejenisnya. Terima kasih sudah mengingatkan, mungkin nanti bisa saya pertimbangkan lagi.
Karena saya sudah mengatakan pilihan saya adalah bapak Prabowo, maka sekalianlah saya tulis kali ini. Indonesia seperti yang kita tahu, dulu pernah mengalami masa Orde Baru. Sebagai bentuk perlawanan setelah 32 tahun berjayanya Orde Baru, semua orang menyuarakan reformasi hingga punahlah keberadaan rezim satu itu pada 1998. Namun sayang disayang, demokrasi dan reformasi yang ada sekarang ini, yang dulu diperjuangkan mati- matian, nampaknya sudah kebablasan, atau kasarnya; tak tahu diri.
Segala bentuk ketidaksetujuan, kecurigaan, dan segala aksi nyinyir terhadap pemerintah dengan tanpa takut dan segan, lazim sekali dilontarkan dengan gamblangnya seakan tanpa proses filtrasi. Apa seperti ini arti sesungguhnya dari reformasi dan demokrasi?
Kembali lagi ke pertarungan Prabowo-Jokowi, betapa miris saya melihat ada begitu banyaknya aksi kampanye yang terang- terangan mendzalimi salah satu capres yang ada, baik Prabowo atau Jokowi. Karena saya sekali lagi sudah terlanjur menjatuhkan pilihan pada bapak Jenderal, maka saya akan sedikit menyuarakan apa yang ada di hati saya.
Pak Prabowo, selalu saja dikaitkan dengan kisah masa lalunya, dipertanyakan apa jasa baktinya terhadap negara, penggagas lambungan mimpi- mimpi semu, dan sebagainya. Dan Jokowi, selalu digadang- gadang sebagai sosok pemimpin sempurna karena pengalaman sebelumnya sebagai walikota dan gubernur.
Lalu apa hubungan judul saya di atas dengan inti tulisan ini? Tenang saja, saya tidak akan menjelek- jelekkan pak Jokowi. Saya sudah membaca CV beliau, dan memang sudah dapat diprediksi, sarat dengan prestasi. Tak perlulah diragukan lagi. Namun inti dari judul tulisan saya ini adalah, bagaimana bisa membandingkan pak Jokowi yang memang sudah tracknya di pemerintahan, dengan pak Prabowo yang tracknya ada di kemiliteran? Ini sama saja membandingkan apel dengan anggur, mana yang lebih enak. Atau mungkin ikan yang bisa berenang dengan kelinci yang lihai melompat.
            Tentu tidak akan bisa dibandingkan bukan? Apel tentulah harus dibandingkan dengan sesame apel. Itu saja harus yang sejenis, tidak mungkin membandingkan apel Malang dengan apel Washington. Apalagi membandingkan dua macam buah yang berbeda, atau bahkan dua fable dengan tokoh dan kemampuannya yang berbeda.
Pak Prabowo, sebagaimana yang kita tahu, pun dulu telah berjuang untuk Indonesia. Saat pak Jokowi blusukan dan digadang- gadang dengan kebiasaannya itu, lalu bagaimana dengan blusukannya Pak Prabowo puluhan tahun yang lalu? Saat beliau berada di tengah- tengah daerah konflik di Indonesia, saat beliau memimpin pasukan untuk membawa nama Indonesia di puncak Everest, saat beliau blusukan di hutan belantara, saat beliau menjadi komandan Kopassus, apa itu semua juga bukan dharma bhakti untuk negara?
Jika ada yang bilang, “Memimpin Negara itu bukan seperti memimpin pasukan tentara lho, beda! Negara ada orang banyak, ada sipil dan ada pula militer. Tidak mungkin bisa disamakan dengan memimpin pasukan.” Lalu kalau sekarang saya balik bagaimana? “Memimpin Negara itu bukan hanya memimpin sipil saja lho. Negara itu banyak orang, ada sipil dan ada pula militer. Jadi presiden juga berarti jadi panglima tertinggi Tentara Nasional Indonesia lho? Sudah siap memimpin semua?”
Kalau saja mau, bisa saja dulu Pak Prabowo berkarier di luar negeri saja. Toh sedari kecil juga sekolah beliau banyak dihabiskan di luar. Tapi beliau pun nyatanya tetap kembali ke Negara ini, mengabdi dalam kemiliteran. Masalah HAM yang terlalu sering diungkit- ungkit, rasanya juga sudah beliau jelaskan sendiri dalam debat capres jilid 1 beberapa waktu lalu. Bahwa kebanyakan orang tak pernah tahu, betapa sulitnya menjadi seorang prajurit yang harus menentukan sikap dalam masa- masa sulit. Bahwa kebanyakan orang hanya mampu menyalahkan prajurit atas segala keadaan, seakan lupa bahwa prajurit punya atasan. Lalu masalah gagasan besar Pak Prabowo, dimana letak salahnya? Dari mana bisa menilai itu hanya omong kosong? Memang benar bahwa setiap gagasan belum tentu selalu berhasil. Tapi perlu diingat, bahwa tak akan pernah ada satupun tindakan hebat dengan tanpa didahului gagasan.
Kira- kira seperti itu yang ada di pikiran saya. Janganlah hanya menghakimi seseorang, mengebiri dengan segala praduga yang kita sendiri tak tahu betul kebenarannya. Hargai saja apa yang menjadi pilihan rakyat Indonesia, tak usah menanyakan Why Prabowo? atau Why Jokowi?. Pak Prabowo sendiri pun telah berucap, bahwa jika rakyat mengamanahinya untuk menjadi presiden insya Allah beliau siap. Namun bila rakyat belum atau tidak mengamanahinya pun beliau tidak masalah, karena semua adalah untuk kebaikan Indonesia sendiri.
            Satu hal yang terpenting adalah agar kita semua tidak usah lebay, tidak usah ngoyo mengkampanyekan capres idaman dengan cara menjelek- jelekkan lawan. Tulisan ini hanya sedikit usaha “naik banding” atas begitu banyaknya status, tulisan, atau sindiran yang  sudah keterlaluan menjelek- jelekkan beliau.
            Salam hormat saya, saya hargai apapun pilihan anda, dan saya pun berharap sebaliknya. Semoga siapapun yang memenangi capres kali ini, adalah yang dianggap paling amanah oleh Tuhan, bukan kita.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ory; Si Anak Hebat yang Selalu Tak Percaya Diri

  Masih kuingat betul pertemuan pertamaku dengan Ory, saat itu dalam kegiatan debat Bahasa Inggris atau dalam madrasah kami disebut English Debate Club (EDC). Menjelang tahun awal pelajaran memang kusampaikan pada murid lama EDC, “Tolong ajak teman yang bagus Bahasa Inggrisnya untuk bergabung di sini, ya.” Lalu akhirnya, diajaklah Ory ke dalamnya oleh Dyna Syarifa, salah seorang dari muridku yang pernah menjuarai lomba pidato tingkat nasional itu. Pertama kali melihat “yang dibawa” Dyna adalah Ory, jujur aku lumayan terkejut. Karena pesanku sebelumnya, “Tolong ajak teman yang bagus Bahasa Inggrisnya.” Namun yang kudapati saat itu, “yang dibawa” adalah satu anak yang sangat jelas nampak tidak percaya diri dan hanya diam saja sepanjang kegiatan. Masih kuingat betul pula, saat itu tema yang kami bahas adalah tentang ‘Capital Punishment’ atau Hukuman Mati bagi para pejabat yang melakukan korupsi, sebaiknya dilakukan atau tidak. Sebelum anak-anak melakukan debat, seperti biasa, kum...

Kisah dalam Munaqosyah

Di madrasah tempatku mengajar, ada yang namanya munaqosyah . Munaqosyah adalah ujian lisan bagi kelas XII yang meliputi 4 bidang; Juz ‘Amma, Qiroatul Kitab, Muhadatsah Bahasa Arab, dan Conversation Bahasa Inggris. Sejak dulu kala, dengan ada atau tidak adanya Ujian Nasional, munaqosyah selalu menjadi salah satu syarat penentu kelulusan para santri. Jadi meskipun dulu ketika seorang santri lulus dalam Ujian Nasional tetapi gagal dalam munaqosyah , maka dia akan tetap dianggap tidak lulus sampai akhirnya melakukan remedi atau ujian ulang untuk munaqosyah nya, berapa kalipun itu (konon kabarnya ada yang pernah mengulang hingga 11 kali ☹ ). Lalu yang lebih menegangkan, orangtua atau wali santri wajib mendampingi ketika munaqosyah dilaksanakan. Mereka diminta untuk duduk di belakang putra/putrinya ketika sedang diuji. Ini supaya orangtua bisa menyaksikan sendiri secara langsung bagaimana kemampuan putra/putrinya dalam menjawab pertanyaan dari para penguji. Karena dianggap sebegitu sak...

drg.Zulfikar

Assalamualaikum… Ceritanya, saya sedang terinspirasi oleh kebaikan seorang dokter gigi di kota saya ini. Singkat cerita, saya punya gigi yang berlubang sangat besar dan telah saya biarkan selama kurang lebih 15 tahun. Kalau tidak salah, gigi geraham saya ini berlubang sejak saya berumur 8 tahun, yaitu kelas 2 SD.  Sedangkan saya sekarang berumur 23 tahun (Parah ya?). Lubang ini saya biarkan saja, karena tidak sakit. Mungkin karena dulu masih kecil jadi kepedulian terhadap kesehatan gigi belum begitu saya perhatikan. Namun lambat laun, lubang ini semakin membesar. Hingga saya besar, saya katakan gigi ini sudah terlanjur sayang . Mau dicabut saya masih eman , tetapi  jika tidak pun lubangnya sangat besar dan sungguh mengganggu setiap kali saya makan. Berulang kali ke dokter gigi mana pun selalu disarankan untuk mencabut, namun saya tetap bersikeras tidak mau. Saya masih agak trauma, karena dulu pernah gigi geraham saya dicabut oleh seorang dokter gigi sehingga ada ompong d...