Langsung ke konten utama

Tak ada Rizqi yang Biasa





Rizqi adalah sebagaimana jodoh, dan sebagaimana pula usia. Semua telah tertulis dalam kitabNya. Namun mentafakkuri nikmat, bersyukur atasnya, adalah hal yang tidak semudah seharusnya. Seringkali dari kita merasa selalu kurang, merasa tak pernah cukup, tak pernah puas. Seakan lupa, bahwa masih banyak orang lain yang menginginkan menjadi kita.
Jika saja ‘nafas’ yang kita hirup setiap waktu tanpa tahu diri ini dianggap rizqi yang biasa saja, maka ingatlah mereka yang mengantungkan hidupnya pada tabung oksigen. Jika ‘harta’ dianggap tak ada padahal ada namun tak banyak, maka ingatlah mereka yang setiap hari setengah mati mengumpulkannya receh demi receh.
Posisi profesi sebagai salah satu kendaraan utama penjemput rizqi juga masih sering dikotak- kotakkan. Ada profesi versi keren dan versi tak keren. Padahal yang ada adalah, bahwa semua yang ada di muka bumi ini saling bersinambungan.
      Dokter membantu menyembuhkan orang sakit, lalu memberi resep untuk ditebus di apotek. Maka apoteker bekerja, memberikan obat yang direkomendasikan dokter. Obat habis, bekerjalah pekerja farmasi dan tukang sales obat. Tukang sales obat yang lelah mengantar lalu mampirlah minum di warung es kelapa muda. Lalu penjual kelapa muda, setiap harinya kulakanlah pada penjual kelapa langganannya, seperti itu. Kesinambungan seperti ini sebagaimana rantai makanan pada makhluk hidup di dunia, di mana apabila salah satu komponennya menghilang, maka rusaklah pula keseimbangan. Maka tak ada versi keren dan tidak kerennya. Semuanya pada hakikatnya saling membantu pada jalannya masing- masing.
            Di lingkungan tempat saya tinggal ada seorang penjual dawet, yang fotonya saya display di atas. Nama si mbah ini tak saya ketahui, meskipun beberapa kali sering mengobrol dengannya tiap kali membeli dawet. Dawetnya asli, tanpa sakarin, hingga tak sakit di tenggorokan. Usia si mbah ini tak perlu ditanya lagi, sudah sangat lanjut. Namun dari suaranya, kita pasti akan tahu bahwa beliau tak terjebak dengan keusialanjutannya (halah). Mbah dawet selalu bersemangat dan ceria, setiap hari dengan bahagia menjemput rizqi yang dijanjikan Allah padanya. Harga untuk satu bungkus dawet plus bubur ini pun cukup fantastis, yakni Rp 1.000,-.
Pernah beliau bercerita bahwa kakinya sekarang sering terasa sakit, hingga sedikit susah untuk berjalan. Namun begitu beliau tetap berjualan, berkeliling kampung dan akhirnya mangkal di depan pasar Djarum daerah Kaliputu Kudus dekat rumah saya.
Sedikit sesak di dada ya kalau merenungi diri sendiri. Saya yang masih muda dan sehat alhamdulillah, malah sering khawatir akan rizqi yang nyata- nyata sudah dijamin Gusti asal berusaha. Saya yang masih muda saja sering tak sesemangat mbah dawet yang tiap hari berjalan tanpa sandal dan menggotong paket jualannya yang tidak ringan.
Semoga si mbah dawet diberkahi, diberikan sebaik- baik rizqi. Lalu semoga yang menulis dan membaca tulisan inipun bisa bersemangat kembali dan ingat bahwa pada lapis- lapis keberkahan, ada keyakinan utuh yang harus ditanamkan; bahwa Allah yang Mencipta, Allah pula yang menjamin rizqi bagi ciptaanNya.

 “Boleh jadi kau tak tahu di mana rizqimu”, tetapi rizqimu tahu di manakah engkau. Jika ia ada di langit, Allah akan memerintahkannya turun untuk mencurahimu. Jika ia ada di bumi, Allah akan menyuruhnya muncul untuk menjumpaimu. Dan jika ia berada di lautan, Allah akan menitahkannya timbul untuk menemuimu.” (Imam Al Ghazali)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ory; Si Anak Hebat yang Selalu Tak Percaya Diri

  Masih kuingat betul pertemuan pertamaku dengan Ory, saat itu dalam kegiatan debat Bahasa Inggris atau dalam madrasah kami disebut English Debate Club (EDC). Menjelang tahun awal pelajaran memang kusampaikan pada murid lama EDC, “Tolong ajak teman yang bagus Bahasa Inggrisnya untuk bergabung di sini, ya.” Lalu akhirnya, diajaklah Ory ke dalamnya oleh Dyna Syarifa, salah seorang dari muridku yang pernah menjuarai lomba pidato tingkat nasional itu. Pertama kali melihat “yang dibawa” Dyna adalah Ory, jujur aku lumayan terkejut. Karena pesanku sebelumnya, “Tolong ajak teman yang bagus Bahasa Inggrisnya.” Namun yang kudapati saat itu, “yang dibawa” adalah satu anak yang sangat jelas nampak tidak percaya diri dan hanya diam saja sepanjang kegiatan. Masih kuingat betul pula, saat itu tema yang kami bahas adalah tentang ‘Capital Punishment’ atau Hukuman Mati bagi para pejabat yang melakukan korupsi, sebaiknya dilakukan atau tidak. Sebelum anak-anak melakukan debat, seperti biasa, kum...

Kisah dalam Munaqosyah

Di madrasah tempatku mengajar, ada yang namanya munaqosyah . Munaqosyah adalah ujian lisan bagi kelas XII yang meliputi 4 bidang; Juz ‘Amma, Qiroatul Kitab, Muhadatsah Bahasa Arab, dan Conversation Bahasa Inggris. Sejak dulu kala, dengan ada atau tidak adanya Ujian Nasional, munaqosyah selalu menjadi salah satu syarat penentu kelulusan para santri. Jadi meskipun dulu ketika seorang santri lulus dalam Ujian Nasional tetapi gagal dalam munaqosyah , maka dia akan tetap dianggap tidak lulus sampai akhirnya melakukan remedi atau ujian ulang untuk munaqosyah nya, berapa kalipun itu (konon kabarnya ada yang pernah mengulang hingga 11 kali ☹ ). Lalu yang lebih menegangkan, orangtua atau wali santri wajib mendampingi ketika munaqosyah dilaksanakan. Mereka diminta untuk duduk di belakang putra/putrinya ketika sedang diuji. Ini supaya orangtua bisa menyaksikan sendiri secara langsung bagaimana kemampuan putra/putrinya dalam menjawab pertanyaan dari para penguji. Karena dianggap sebegitu sak...

drg.Zulfikar

Assalamualaikum… Ceritanya, saya sedang terinspirasi oleh kebaikan seorang dokter gigi di kota saya ini. Singkat cerita, saya punya gigi yang berlubang sangat besar dan telah saya biarkan selama kurang lebih 15 tahun. Kalau tidak salah, gigi geraham saya ini berlubang sejak saya berumur 8 tahun, yaitu kelas 2 SD.  Sedangkan saya sekarang berumur 23 tahun (Parah ya?). Lubang ini saya biarkan saja, karena tidak sakit. Mungkin karena dulu masih kecil jadi kepedulian terhadap kesehatan gigi belum begitu saya perhatikan. Namun lambat laun, lubang ini semakin membesar. Hingga saya besar, saya katakan gigi ini sudah terlanjur sayang . Mau dicabut saya masih eman , tetapi  jika tidak pun lubangnya sangat besar dan sungguh mengganggu setiap kali saya makan. Berulang kali ke dokter gigi mana pun selalu disarankan untuk mencabut, namun saya tetap bersikeras tidak mau. Saya masih agak trauma, karena dulu pernah gigi geraham saya dicabut oleh seorang dokter gigi sehingga ada ompong d...