Manusia memang tukang ngajak ribut. Bukan hanya dengan
sesamanya saja, tapi juga dengan tuhannya sendiri. Sudah diberi tahu sejak
dulu, bahwa apapun yang terjadi adalah kehendakNya. Tetapi tetap saja meratap
tak habis- habis. Sudah diberi tahu, bahwa jalanNya tidak akan sekalipun pernah
salah, namun tetap saja sering tak terima. Contohnya? Ya saya ini (hahaha..).
Iya, saya juga sama saja
begitu. Karena saya manusia. Bukan sekedar manusia biasa, tetapi kelewat biasa.
Lulusan IKIP seperti saya ini, pasti identik dengan masa depan sebagai guru
atau dosen. Mulai H+1 wisuda, pasti akan ditanya kesana kemari; “Sekarang ngajar di mana?”. Nyeseg?
Awalnya pasti iya. Baru baru saja lho bisa “sembuh” dari nyesegnya.
Belum mengajar sampai sekarang
bukan berarti saya tidak setia dengan pilihan saya untuk mengabdi pada bidang
pendidikan, bukan. FYI, saya sudah
mendaftar di kurang lebih 13 sekolahan di kota Kudus. Tetapi hasilnya nihil. Apa
ini berarti saya bodoh? Ah tidak. Insya Allah Tuhan telah menitipkan ilmuNya
yang maha indah, meski sedikit. Lalu pernah juga saya ekspansi dengan mendaftar
di Semarang, di salah satu SMA swasta terbaiknya. Dari sekitar 40 lebih
pendaftar, saya terjaring sampai ke lima besar, menyisihkan puluhan kompetitor dari
beberapa universitas pendidikan negri lain yang katanya lebih bagus dari IKIP (Tuh, gak bodoh kan? :p). Dan dari 5
ini, kemudian tidak loloslah saya (mulai bodoh
berarti ya).
Akhirnya saya terpaksa
nerimo, awalnya begitu, untuk mengelola toko alat tulis rintisan kakak sendiri.
Awalnya ya tentu saja ada rasa gimanaaa gitu. Masa kuliah tinggi- tinggi,
belajar bahasa Inggris kesana- kemari, ujungnya jaga toko?
Namun akhirnya apalah daya (tsaaah). Karena tak ada pilihan lain,
maka jadilah saya penunggu di toko alat tulis ini. Lalu detik demi detik berganti
jam, kemudian berganti hari dan sampai akhirnya kemarin tepat satu bulan.
Alhamdulillah, gaji pun saya terima. Dan jujur saja, kalau dibanding dengan
menjadi guru GTT, nominalnya jauh lebih banyak. Tetapi ini bukan hanya soal nominalnya
saja, saudara- saudaraku sekalian. Lambat laun, rasa nyeseg yang ada di dalam hati ini digantikanNya dengan rasa bahagia
dan syukur yang membuncah. Bahwa ternyata ada kebahagiaan lain selain menjadi
guru di sekolah. Bahwa mencerdaskan anak- anak sekolah, tidak melulu dengan
mengajarnya di sekolah. Tetapi juga dengan menyediakan segala kebutuhan sekolah
mereka di sini. Betapa bahagia jika anak- anak sekolah merasa puas setelah
keluar dari toko, karena “alat perang” mereka untuk mengerjakan tugas telah ada
di tangan. Kebahagiaan lainnya? Saya tidak perlu menjahitkan baju seragam keki
dan lainnya, saya bisa pakai baju sesuka saya; mau pakai gamis, mau rok, mau
celana jeans, tidak ada yang melarang. Saya bisa bekerja sambil makan, sambil
mengetik seperti saat ini, dan tidak perlu takut ketahuan kepala sekolah,
ketahuan bos. Saya bisa keluar sebentar bila ada perlu yang mendadak, karena Alhamdulillah
sudah ada satu teman kerja yang baik, yang seorang mahasiswa juga. Saya bisa
mandi tanpa harus menunggu jam pulang, saya bisa santai pakai sandal, saya bisa
menyetel lagu apapun yang saya mau, dan sebagainya. Maka nikmatNya yang mana
lagi yang tega saya dustakan? Duh cah,
ternyata memang ada kebahagiaan lain selain menjadi guru. Kalau dipaksakan
dideskripsikan, mungkin Tuhan di atas sana sedang melirik sambil tersenyum dan
berkata, “Piye? Wis ngerti maksudKu to saiki?”.
ditulis di Kudus, sambil senyum- senyum juga
Komentar
Posting Komentar