Beberapa minggu
lalu, Indonesia digegerkan dengan sebuah kasus pembakaran anak oleh ibu kandungnya
sendiri. Kasus tersebut teradi di Manado, Sulawesi Utara. Sang anak, Jessica
(10), disiram minyak tanah oleh ibunya sendiri, lalu dibakar. Menurut salah
satu sumber yang saya baca, peristiwa naas tersebut terjadi hanya karena alasan
sepele; sang ibu minta diambilkan pisau, tetapi sayang si anak lupa. Sang ibu
marah dan emosi, lalu nekat membunuh darah dagingnya sendiri.
Hancuuur hati
saya membaca kisah ini. Karena saya sendiri juga seorang ibu. Saya tidak bisa
membayangkan, setelah ini kehidupan seperti apa yang akan dilalui ibunya. Selain
harus mendekap dalam bui, sang ibu juga tentu akan melewatkan malam- malam
tanpa buah hatinya lagi di sampingnya, tidak mungkin lagi menunggu sang anak
pulang sekolah, mendengar cerita tentang kejadian- kejadian di sekolahnya. Ya
tuhan…
Sebenarnya,
kalau boleh jujur, menjadi ibu memang sangatlah sulit. This is a long-life journey. Perjalanan seumur hidup. Kita tidak
akan pernah bisa berhenti menjadi ibu sekali kita sudah menjadi. Tidak ada
istirahat sementara atau cuti, tidak ada pula pensiun. Bahkan sampai kita
matipun, doa anak- anak kita tetap akan didengar dan disampaikan oleh tuhan. Isn’t it amazing?
Saya sendiri,
sering pula gagal memendam emosi saya. Saat saya harus beberapa kali
memberitahu anak dengan cara yang halus tetapi tidak diindahkan, ditambah lagi
di dalam rumah sana ada gunungan jemuran yang belum sempat terlipat dan entah
kapan, di dalam pengering mesin cuci ada pula tumpukan baju yang belum sempat
terjemur, cucian piring yang menumpuk, rumah yang berantakan, suami yang
terkadang menyebalkan, beban pekerjaan yang pula tak jarang muncul, haarrgh…itu semua lama- kelamaan bisa juga membuat kita
seperti ibu peri yang galak!
Teriak! Marah! Emosi! Atau menangis!
Saat sudah
terjadi seperti itu, biasanya anak akan ikut menangis. Menangislah sejadi-
jadinya ibu dan anak berdua. Terkadang lupa sudah bahwa mereka itu titipan tuhan,
bahwa mereka itu yang kita dulu idam- idamkan kehadirannya, bahwa mereka itu
yang kita sambut luar biasa menjelang kelahirannya.
Suliiit, sulit
sekali memang… Tapi tentu saja bukan berarti tidak bisa, bukan?
Ibu harus
bahagia… Pernah saya dengar bahwa seorang anak itu sebenarnya tak butuh seorang ibu yang
sempurna, melainkan seorang ibu yang bahagia. Bagaimana bahagia kita, kita
sendiri yang tahu.
Ibu boleh
menunda semua pekerjaan rumahnya kalau mau. Ibu boleh tutup mata tutup telinga
tentang parenting style yang
dijalankan kalau mau. Ibu boleh memilih bekerja kalau suntuk 24/7 di rumah. Ibu boleh memilih untuk resign kerja kalau dirasa beban
pekerjaan hanya akan memperburuk suasana. Ibu boleh ketika sebal dengan suami
menuliskan semuanya dalam kertas, tumpahkan semua setumpah- tumpahnya, lalu
robek dan buang kertasnya. Maafkan. Boleh pula Ibu main HP sesekali saat bersama anak, tidak apa. Asal kita tetap sadar dengan
keamanan dan lainnya. Meskipun para psikolog mungkin akan berkata jangan. Saya tahu,
waktu ibu kurang untuk itu. Bahkan seorang ibu selalu saja kekurangan waktu
untuk dirinya sendiri, bukan?
Lakukan, lakukan
apapun yang membahagiakan dirimu sendiri. Perjalananmu masih sangat panjang.
Berjuanglah, mari saling mendekap dan menguatkan.
Salam cinta,
-Seorang ibu-
Komentar
Posting Komentar