Beberapa waktu lalu, tepatnya 13
November 2018, saya berkesempatan mengikuti sebuah seminar “Bela Negara” yang
diselenggarakan oleh Dirjen Potensi Pertahanan dari Kementerian Pertahanan RI.
Dari sekian banyak pembicara termasuk TNI, anggota Komisi I DPR RI dll, menurut
saya yang paling menarik adalah pembicara terakhir, yaitu Bp. Zaenuri selaku
intel dari Polres Pati.
Di tengah- tengah pembicaraan,
beliau bertanya kepada kami para peserta,
“Kira-
kira ada tidak Pak, Bu, aliran keras (radikal) di kota Pati ini?”
Para peserta kompak menjawab,
“Tidaaa…ak.”
Karena, kota Pati memang selama ini nampak adem ayem saja.
Bapak Zaenuri yang masih cukup muda
itu tersenyum lalu kembali melanjutkan, bahwa hal tersebut ternyata ada di Pati
ini. Mulai dari yang berniat mengibarkan bendera hitam bertuliskan tauhid
sampai yang mengusupkan paham- paham radikalisme ke anak- anak.
Saya kaget. Tercekat. Sungguh tidak
menyangka bahwa hal seperti itu juga terjadi di kota kecil yang saya tinggali
ini.
Beliau menceritakan, di kota Pati
ini ada dua sekolah untuk anak yang disinyalir mengajarkan paham radikal (1
PAUD, dan 1 lagi TK). Pada salah satunya, para guru (atau ustadzah mereka menyebutnya) mengajak anak- anak ke sebuah
pemakaman, lalu sang guru tersebut bertanya pada mereka,
“Nak,
yang di dalam kuburan itu orang mati atau orang hidup?”
Anak- anak menjawab, “Orang mati, ustadzaaah…”
“Kalau
kalian berdoa pada orang mati, meminta sesuatu sama mereka, kira- kira terkabul
tidaaak? Coba kalian lakukan!”
Anak- anak lalu menuruti gurunya
dan berdoa, lalu menjawab,
“Tidaak,
ustadzaaah…”
Sang guru lalu berkata, “Naaah… sekarang kalian tahu kan? Tidak ada
gunanya kita ke makam untuk meminta- minta seperti yang orang- orang lain
lakukan…”
“Mengerti, ustadzaaah…”
“Mengerti, ustadzaaah…”
Oh
my, God. Can you imagine that? Betapa anak- anak yang polos itu digiring
sesuai opini ngawur mereka. Mereka lupa (atau bahkan tak tahu), bahwa berziarah
kubur itu dzikrul maut, alias
mengingat mati.Bahwa mendoakan orang mati pun pernah dilakukan oleh Rasulullah
pada jaman dahulu.
Contoh yang kedua, di satu sekolah lainnya
tadi, ada seorang Bapak yang menangis ketika menjemput putri kecilnya pulang
sekolah. Kenapa? Karena dalam perjalanan pulang bersama anaknya naik motor,
setiap ada gambar pahlawan yang terpampang, anak kecil itu berkata,
“Bapak…(sambil
menunjuk) Itu kafir… Itu kafir… Yang itu juga kafir…”
Menangis bapak itu. Singkat cerita
dibawalah putri tercintanya menghadap seorang kyai. Mengadulah beliau atas
apa yang terjadi setelah tentu saja, memutuskan untuk “mencabut” anaknya dari
sekolah tersebut.
Hah… Bagaimana bisa para pahlawan
kita disebut kafir. Para pahlawan yang bahkan membuat mereka- mereka ini masih
bisa hidup sampai sekarang. Cari makanpun mereka di NKRI ini. Ah entahlah.
Di akhir kesempatan, Bp. Zaenuri
menyampaikan ciri- ciri bibit radikalisme yang mungkin ada di sekitar kita
untuk kita hindari dan laporkan. Di antaranya adalah:
1. Mereka “mengaji” secara eksklusif (tertutup)
2. Mereka tidak mau menjadi imam/ makmum dengan selain golongannya
3. Mereka tidak mau makan daging binatang yang bukan sembelihan mereka sendiri (Entah, mungkin ragu dengan kehalalannya atau apa)
4. Mereka anti NKRI, pancasila, pemerintah, dll.
1. Mereka “mengaji” secara eksklusif (tertutup)
2. Mereka tidak mau menjadi imam/ makmum dengan selain golongannya
3. Mereka tidak mau makan daging binatang yang bukan sembelihan mereka sendiri (Entah, mungkin ragu dengan kehalalannya atau apa)
4. Mereka anti NKRI, pancasila, pemerintah, dll.
Semoga kita semua selalu dalam
lindungan Allah dan bisa bersikap jernih serta bijak dalam bersikap. Jangan
lupa cintai NKRI, karena ia harga mati!
Komentar
Posting Komentar