Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2020

Bahasa Pertama, Bahasa Ibu, Bahasa Cinta

  Indonesia memiliki kurang lebih 652 bahasa daerah. Dengan begitu dapat dianggap bahwa di negeri ini, bahasa daerah adalah bahasa pertama, Bahasa Indonesia adalah bahasa kedua, dan bahasa asing adalah bahasa ketiga (bila diajarkan). Meskipun begitu, tentu saja kita tidak bisa meng- general -isasikan bahwa semua seperti itu. Selalu ada pengecualian dalam hampir setiap kasus, bukan? Di kota besar seperti Jakarta, mungkin bahasa Indonesia adalah bahasa pertama, bukan kedua. Saat ini pula, banyak orang tua—terutama kalangan “atas”—yang menyekolahkan anaknya di sekolah- sekolah internasional. Di sekolah semacam itu, kita tahu bahwa bahasa keseharian yang digunakan adalah Bahasa Inggris. Bahkan terkadang beberapa dari anak- anak itu tidak terlalu fasih berbicara Bahasa Indonesia. Mereka lebih lancar berbahasa asing, Bahasa Inggris. Sebaliknya, di daerah- daerah yang masih kuat muatan nilai- nilai lokalnya, bahasa daerah masih menjadi dewa. Mereka yang mengajarkan anaknya Bahasa Indo...

Wanita dan "Pekerjaannya"

  Risiko hidup dalam   budaya patriarki, wanita selalu dianggap berada dalam posisi inferior . Kalian pasti pernah mendengar, atau mengalami sendiri, beberapa kalimat yang sering terlontar di antara masyarakat kita seperti “Ayo ndang nikah, lee... Ben ono sing masakke, gak masak- masak dewe.” Atau mungkin ketika seorang lelaki berbelanja, mungkin akan kalian dengar, “Istrinya kemana mas? Kok belanja sendiri.” Beberapa kalimat seperti itu, menempatkan posisi bahwa seakan- akan, lelaki itu haram melakukan pekerjaan- pekerjaan rumah tangga seperti itu. Bahwa setumplek blek pekerjaan rumah tangga itu wajib hukumnya, hanya dan akan selalu hanya, dilakukan oleh perempuan—atau istri— dalam sebuah rumah tangga. Apakah saya sedang curhat? Oh Alhamdulillah tidak. Saya sangat bersyukur top to toe, to the moon and back, saya berada dalam lingkup laki- laki yang demokratis sekali. Dalam rumah tangga saya, saya adalah satu- satunya wanita. Selain saya, ada bapak mertua...

The Godfather of Broken Heart and His Heritage

  Several days ago, Indonesians were so sad of their loss. One of their dinosaurs of Campursari (Javanese traditional song) was gone. He was Didi kempot, whose original name was Dionisius Prasetyo. Didi who was born in Surakarta on December 1 st 1966, once wandered about into Jakarta before he finally made it and traveled to Suriname, Dutch, and some other countries in Europe. Everyone in Indonesia cannot deny that Lord Didi (people call them “Godfather of Broken Heart” since most of his songs are about heart breakings) gave a very big influence of Javanese language. He succeeded to show it to the world. Now Javanese people are proud of their native language. No more shame on it. Talking about languages, each of them must have several accents. For instance in England, we know there are some accents just like Northern accent, Southern accent, Cockney accent, or the Received accent (usually called the Queen accent). Meanwhile, how about the posh accent? Have you eve...