
Risiko
hidup dalam budaya patriarki, wanita
selalu dianggap berada dalam posisi inferior.
Kalian pasti pernah mendengar, atau mengalami sendiri, beberapa kalimat yang
sering terlontar di antara masyarakat kita seperti “Ayo ndang nikah, lee... Ben ono sing masakke, gak masak- masak dewe.”
Atau mungkin ketika seorang lelaki berbelanja, mungkin akan kalian dengar, “Istrinya
kemana mas? Kok belanja sendiri.”
Beberapa
kalimat seperti itu, menempatkan posisi bahwa seakan- akan, lelaki itu haram melakukan pekerjaan- pekerjaan
rumah tangga seperti itu. Bahwa setumplek blek pekerjaan rumah tangga itu wajib
hukumnya, hanya dan akan selalu hanya, dilakukan oleh perempuan—atau istri—
dalam sebuah rumah tangga.
Apakah
saya sedang curhat? Oh Alhamdulillah tidak. Saya sangat bersyukur top to toe, to the moon and back, saya
berada dalam lingkup laki- laki yang demokratis sekali. Dalam rumah tangga
saya, saya adalah satu- satunya wanita. Selain saya, ada bapak mertua, suami,
dan dua anak laki- laki saya. Alhamdulillahnya, bapak dan suami selalu mau
meringankan pekerjaan- pekerjaan rumah tangga yang tidak pernah ada habisnya. Meskipun
mereka membantu sebisanya dengan sedikit sisa waktu yang sempit pula, tapi saya
sangat bersyukur mereka mau. Mereka bukan laki- laki dengan mindset bahwa semua pekerjaan rumah
adalah milik perempuan, dan bahwa tugas lelaki hanya merokok dan atau minum
kopi saja. Bukan, Alhamdulillah bukan. Ketika kalian main ke rumah saya kapan-
kapan, tidak usah merasa aneh jika melihat suami saya sedang membantu saya
melipat jemuran, atau sedang mencuci piring, dan sebagainya. That’s very normal to us.
Bagaimana
dengan saya? Aaah saya juga biasa melakukan pekerjaan yang katanya punya lelaki
itu. Mencuci motor sendiri, beli galon air sendiri, ganti lampu yang mati, saya
bisa! Menurut kami, tidak ada yang disebut dengan “pekerjaan laki- laki” dan “pekerjaan
perempuan”. Apapun yang kalian bisa, lakukan!
Anak
saya kelak pun akan saya didik untuk selalu menghargai perempuan, ibu dan istri
mereka, atau siapapun itu nanti. Si sulung Azka yang berusia 4 tahun, bahkan
selalu menawarkan bantuan pada saya ketika saya melakukan apapun itu. Menjemur,
memasak, dan sebagainya. Semoga selamanya nanti, dia akan tetap seperti itu. Si
bungsu Nizar, semoga juga akan sepintar kakaknya kelak. Saat ini karena dia
masih 10 bulan, jadi tak ada apapun yang bisa saya ceritakan kaitannya dengan
ini.
Itulah
mengapa, dalam story aplikasi whatsapp saya beberapa saat lalu ketika
Hari Kartini, saya ucapkan sebuah doa, semoga wanita- wanita di dunia ini bisa
bebas merdeka menjadi dirinya sendiri, sekalipun dalam sebuah rumah tangga.
Mungkin
kalimat terakhir saya sebagai penutup dalam tulisan kali ini, “Rumah tangga adalah penjara bagi jiwa yang terbelenggu,
dan pembebasan bagi mereka yang merdeka.”
Salam
merdeka!
Komentar
Posting Komentar