Langsung ke konten utama

Seikhlas Enong, Setegar Lintang

Setiap dari kita mungkin pernah berfikir, mengapa tuhan tak adil. Mengapa setiap usaha seperti tak berbanding lurus dengan hasil. Mengapa yang menanam tak tentu yang menuai hasil.
Sejak sekolah kita mungkin pernah mengalami hal demikian. Mengapa kita yang belajar mati- matian, tak bisa mendapat skor setinggi seorang teman yang baru menyadari ada ulangan namun tetap mendapatkan nilai sempurna.

Saat kuliah, juga bisa jadi terulang kembali. Mengapa teman yang tak begitu cemerlang dan biasa- biasa saja, bisa dengan mudah menyelesaikan skripsinya. Mengapa dia bisa begitu beruntung mendapatkan dosen yang baik hati, sementara kita yang sudah semangat 45 mengerjakan skripsi, tertunda berbulan- bulan atau bahkan bertahun- tahun hanya karena tak seberuntung mereka.

Selepas kuliah, hal serupa juga masih sangat berkemungkinan lagi dalam hal mencari pekerjaan. Atau mungkin juga untuk sebagian kasus lain, seperti dalam hal menjemput jodoh dan sebagainya.
Terkadang kita juga berfikir, atau setidaknya saya, mengapa bukan si pemalas saja yang seharusnya tak beruntung. Mengapa bukan yang giat dan memiliki tekad saja yang berhasil dan beruntung.

However that’s life. Seandainya saja semua orang ditakdirkan sesederhana itu, mungkin saja cerita Laskar Pelangi karya Andrea Hirata tak akan begitu adanya. Lintang, salah seorang sahabat Ikal di SD Muhammadiyah, dengan demikian bisa saja bunuh diri karena bakal merasa tak mendapatkan “jatah” yang seharusnya.

Mengapa tidak? Lintang nyata ada sebagai seorang anak yang jenius dan cemerlang dalam sains, dalam dunia eksakta. Sejak kecil semangatnya tinggi untuk belajar, dan cintanya pada belajar menyala berapi- api. Untuk bisa sampai sekolah setiap harinya, Lintang harus lantang- pukang mengayuh sepedanya berkilometer jauhnya dan sesekali bertemu dengan buaya yang siap menerkam kapan saja. Lintang dan dua temannya termasuk Ikal, pun terbukti memenangkan lomba cerdas cermat berkat hitungannya yang tepat tak meleset sama sekali.

Namun apa yang terjadi? Apakah cerita berakhir sesederhana sebagaimana konsep tanam- tuai versi manusia? Ternyata tidak. Lintang sebagai anak lelaki tertua, harus menelan pahit kenyataan bahwa ayahnya yang seorang nelayan meninggal dalam perjalanannya menjemput nafkah. Maka Lintang, harus terpaksa putus sekolah demi mengurus dan membiayai adik- adiknya, dan ternyata bisa.

Lintang tetap tegar, karena mau tidak mau, terima tidak terima, memang itulah kondisi yang dihadapi. Dia tidak menyalahkan tuhan, tidak menanyakan mengapa harus dia yang bernasib demikian. Mengapa tidak Mahar atau teman lainnya saja yang bernasib begitu, toh mereka tak secerdas Lintang dalam belajar.

Juga dalam kisah lain Andrea—dalam buku Cinta dalam Gelas—diceritakan pula tentang Enong, seorang gadis kecil yang terpaksa berhenti sekolah karena ayahnya, Zamzani, meninggal saat mendulang timah. Enong yang cinta setengah mati pada pelajaran Bahasa Inggris, terpaksa menelan pahit kenyataan bahwa dia tak bisa lagi meneruskan kecintaannya untuk belajar pada akhirnya. Enong tak bernasib lebih baik dari Lintang, dia menjadi wanita pendulang timah pertama di Belitong pada saat itu. Semua dilakukannya demi menghidupi adik- adiknya.

Lantas tidak adilkah semua jalan cerita Tuhan?
Sungguh kebenaran hikmah yang memang cukup berat untuk diaminkan. Namun kita harus percaya, bahwa tak akan pernah ada yang salah dengan jalan ceritaNya. Kalau saja Enong dan Lintang tetap melanjutkan sekolah, belum tentu semua akan seindah bayangan mereka.

Memang benar bahwa ada sebagian orang yang diamanahi ilmu oleh tuhan, sekaligus diberikan kesempatan untuk dapat mengembangkannya. Namun perlu kita sadari bahwa ada pula yang bernasib sebaliknya. Masing- masing dengan jalan sebab dan akibatnya sendiri, entah karena biaya, keadaan, restu orang tua, norma, dan sebagainya. Namun kita harus percaya, selagi kita sudah melakukan yang terbaik dan berdoa sekeras yang kita bisa, sisanya adalah hak tuhan sepenuhnya. Hasil bukan ada pada wewenang kita. Berat memang, namun insyAllah bisa.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ory; Si Anak Hebat yang Selalu Tak Percaya Diri

  Masih kuingat betul pertemuan pertamaku dengan Ory, saat itu dalam kegiatan debat Bahasa Inggris atau dalam madrasah kami disebut English Debate Club (EDC). Menjelang tahun awal pelajaran memang kusampaikan pada murid lama EDC, “Tolong ajak teman yang bagus Bahasa Inggrisnya untuk bergabung di sini, ya.” Lalu akhirnya, diajaklah Ory ke dalamnya oleh Dyna Syarifa, salah seorang dari muridku yang pernah menjuarai lomba pidato tingkat nasional itu. Pertama kali melihat “yang dibawa” Dyna adalah Ory, jujur aku lumayan terkejut. Karena pesanku sebelumnya, “Tolong ajak teman yang bagus Bahasa Inggrisnya.” Namun yang kudapati saat itu, “yang dibawa” adalah satu anak yang sangat jelas nampak tidak percaya diri dan hanya diam saja sepanjang kegiatan. Masih kuingat betul pula, saat itu tema yang kami bahas adalah tentang ‘Capital Punishment’ atau Hukuman Mati bagi para pejabat yang melakukan korupsi, sebaiknya dilakukan atau tidak. Sebelum anak-anak melakukan debat, seperti biasa, kum...

Kisah dalam Munaqosyah

Di madrasah tempatku mengajar, ada yang namanya munaqosyah . Munaqosyah adalah ujian lisan bagi kelas XII yang meliputi 4 bidang; Juz ‘Amma, Qiroatul Kitab, Muhadatsah Bahasa Arab, dan Conversation Bahasa Inggris. Sejak dulu kala, dengan ada atau tidak adanya Ujian Nasional, munaqosyah selalu menjadi salah satu syarat penentu kelulusan para santri. Jadi meskipun dulu ketika seorang santri lulus dalam Ujian Nasional tetapi gagal dalam munaqosyah , maka dia akan tetap dianggap tidak lulus sampai akhirnya melakukan remedi atau ujian ulang untuk munaqosyah nya, berapa kalipun itu (konon kabarnya ada yang pernah mengulang hingga 11 kali ☹ ). Lalu yang lebih menegangkan, orangtua atau wali santri wajib mendampingi ketika munaqosyah dilaksanakan. Mereka diminta untuk duduk di belakang putra/putrinya ketika sedang diuji. Ini supaya orangtua bisa menyaksikan sendiri secara langsung bagaimana kemampuan putra/putrinya dalam menjawab pertanyaan dari para penguji. Karena dianggap sebegitu sak...

drg.Zulfikar

Assalamualaikum… Ceritanya, saya sedang terinspirasi oleh kebaikan seorang dokter gigi di kota saya ini. Singkat cerita, saya punya gigi yang berlubang sangat besar dan telah saya biarkan selama kurang lebih 15 tahun. Kalau tidak salah, gigi geraham saya ini berlubang sejak saya berumur 8 tahun, yaitu kelas 2 SD.  Sedangkan saya sekarang berumur 23 tahun (Parah ya?). Lubang ini saya biarkan saja, karena tidak sakit. Mungkin karena dulu masih kecil jadi kepedulian terhadap kesehatan gigi belum begitu saya perhatikan. Namun lambat laun, lubang ini semakin membesar. Hingga saya besar, saya katakan gigi ini sudah terlanjur sayang . Mau dicabut saya masih eman , tetapi  jika tidak pun lubangnya sangat besar dan sungguh mengganggu setiap kali saya makan. Berulang kali ke dokter gigi mana pun selalu disarankan untuk mencabut, namun saya tetap bersikeras tidak mau. Saya masih agak trauma, karena dulu pernah gigi geraham saya dicabut oleh seorang dokter gigi sehingga ada ompong d...