Langsung ke konten utama

Sebuah Mental Terjajah



Sebuah Mental Terjajah

Belakangan ini, kasus yang tengah marak di tengah perbincangan masyarakat adalah kasus pelecehan seksual yang terjadi di sebuah TK Internasional, tepatnya Jakarta Internasional School (JIS). Sungguh memprihatinkan, bahwa kejadian sebiadab itu bisa terjadi di dalam sebuah satuan pendidikan, yang notabene bertaraf Internasional. Yang untuk bisa masuk ke dalam lingkungannya saja harus melalui berlapis cek keamanan.
Yang mengherankan lagi adalah, bagaimana bisa TK semegah dan semahal itu bisa tenang- tenang saja “melenggang” selama ini dengan tanpa memiliki izin resmi untuk pendiriannya? Mengapa tak ada watchdog yang bertindak tegas misalpun sudah mencurigai?
Kenyataan lain bahwa di JIS tingkat lanjut (SD,SMP&SMA) tak ada 4 mata pelajaran wajib yang harus dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah di Indonesia, adalah fakta yang sungguh mencengangkan sekaligus memprihatinkan. Keempat pelajaran yang “hilang” tersebut adalah Bahasa Indonesia, Sejarah Indonesia, PKn, dan Pendidikan Agama. Sungguh tak masuk di akal.
Kesimpulan sederhana yang bisa dengan mudah diambil adalah bahwa kita, kebanyakan manusia di bangsa ini, pasti tak akan berpikir bahwa sekolah sementereng  itu (TK JIS) tak memiliki izin berdiri. Bahwa kita tak akan berpikir ada yang salah dengan kurikulum dan manajemen di dalam sekolahnya. Kebanyakan kita selalu berpikir, bahwa apapun yang dikelola asing, orang- orang bule berambut pirang, apalagi bertaraf internasional, sudah pasti terjamin mutu dan kualitasnya. Bahwa pasti mereka akan bertindak profesional dan berkualitas.
           Inilah yang saya maksudkan dengan mental terjajah. Sebuah mental, yang selalu merasa bahwa orang asing selalu lebih baik dari pribumi. Mungkin saja ini merupakan “warisan” tidak langsung yang ditinggalkan karena kita terlalu lama terjajah, 350 plus 3.5 tahun. Entah berapa kali keturunan sebuah keluarga yang bertahan di dalamnya jika diurutkan.
Contoh kecil lain yang ada di lapangan, yang sangat dengan mudah bisa kita temui adalah, begitu banyak bule yang dimintai foto bersama oleh pribumi. Padahal, tempat mengambil foto tersebut adalah situs- situs yang ada di Indonesia sendiri. Tempat wisata, yang Indonesia sekali. Mengapa tak kita coba naikkan sedikit saja gengsi kita di hadapan mereka? Biarlah mereka yang meminta foto dengan kita, para pribumi. Karena tempat mereka berada pada saat tertentu  tersebut adalah di bumi pertiwi, tanah air kita sendiri. Kalaupun ternyata mereka tak meminta, yasudah. Berfoto sendiri sajalah.
Tak usah (terlalu) merasa bangga jika kita bisa berbicara pada para bule itu, karena seharusnya tugas mereka juga untuk menyesuaikan diri jika mereka betul- betul berkeperluan khusus di negri ini. Banggalah bahwa kita berada di sebuah negri yang meski sekarang “berhujan batu” di dalamnya, namun para bapak pendahulu kita merebutnya dengan sebuah perjuangan, bukan melalui hadiah atau persemakmuran dari negara- negara penjajah, seperti yang didapat para negara tetangga. Banggalah bahwa negara kita memiliki sebuah bahasa sendiri, bahasa Indonesia, bukan negara yang meleburkan bahasanya sendiri ke bahasa orang asing. Banggalah bahwa kita berasal dari suku yang ada di Indonesia, yang luar biasanya memiliki bahasa daerah sendiri.
Belajarlah banyak bahasa orang- orang asing, belajarlah setinggi- tingginya sejajar atau lebih dari mereka, namun jangan pernah lupakan jati diri kita sendiri, Indonesia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ory; Si Anak Hebat yang Selalu Tak Percaya Diri

  Masih kuingat betul pertemuan pertamaku dengan Ory, saat itu dalam kegiatan debat Bahasa Inggris atau dalam madrasah kami disebut English Debate Club (EDC). Menjelang tahun awal pelajaran memang kusampaikan pada murid lama EDC, “Tolong ajak teman yang bagus Bahasa Inggrisnya untuk bergabung di sini, ya.” Lalu akhirnya, diajaklah Ory ke dalamnya oleh Dyna Syarifa, salah seorang dari muridku yang pernah menjuarai lomba pidato tingkat nasional itu. Pertama kali melihat “yang dibawa” Dyna adalah Ory, jujur aku lumayan terkejut. Karena pesanku sebelumnya, “Tolong ajak teman yang bagus Bahasa Inggrisnya.” Namun yang kudapati saat itu, “yang dibawa” adalah satu anak yang sangat jelas nampak tidak percaya diri dan hanya diam saja sepanjang kegiatan. Masih kuingat betul pula, saat itu tema yang kami bahas adalah tentang ‘Capital Punishment’ atau Hukuman Mati bagi para pejabat yang melakukan korupsi, sebaiknya dilakukan atau tidak. Sebelum anak-anak melakukan debat, seperti biasa, kum...

Kisah dalam Munaqosyah

Di madrasah tempatku mengajar, ada yang namanya munaqosyah . Munaqosyah adalah ujian lisan bagi kelas XII yang meliputi 4 bidang; Juz ‘Amma, Qiroatul Kitab, Muhadatsah Bahasa Arab, dan Conversation Bahasa Inggris. Sejak dulu kala, dengan ada atau tidak adanya Ujian Nasional, munaqosyah selalu menjadi salah satu syarat penentu kelulusan para santri. Jadi meskipun dulu ketika seorang santri lulus dalam Ujian Nasional tetapi gagal dalam munaqosyah , maka dia akan tetap dianggap tidak lulus sampai akhirnya melakukan remedi atau ujian ulang untuk munaqosyah nya, berapa kalipun itu (konon kabarnya ada yang pernah mengulang hingga 11 kali ☹ ). Lalu yang lebih menegangkan, orangtua atau wali santri wajib mendampingi ketika munaqosyah dilaksanakan. Mereka diminta untuk duduk di belakang putra/putrinya ketika sedang diuji. Ini supaya orangtua bisa menyaksikan sendiri secara langsung bagaimana kemampuan putra/putrinya dalam menjawab pertanyaan dari para penguji. Karena dianggap sebegitu sak...

drg.Zulfikar

Assalamualaikum… Ceritanya, saya sedang terinspirasi oleh kebaikan seorang dokter gigi di kota saya ini. Singkat cerita, saya punya gigi yang berlubang sangat besar dan telah saya biarkan selama kurang lebih 15 tahun. Kalau tidak salah, gigi geraham saya ini berlubang sejak saya berumur 8 tahun, yaitu kelas 2 SD.  Sedangkan saya sekarang berumur 23 tahun (Parah ya?). Lubang ini saya biarkan saja, karena tidak sakit. Mungkin karena dulu masih kecil jadi kepedulian terhadap kesehatan gigi belum begitu saya perhatikan. Namun lambat laun, lubang ini semakin membesar. Hingga saya besar, saya katakan gigi ini sudah terlanjur sayang . Mau dicabut saya masih eman , tetapi  jika tidak pun lubangnya sangat besar dan sungguh mengganggu setiap kali saya makan. Berulang kali ke dokter gigi mana pun selalu disarankan untuk mencabut, namun saya tetap bersikeras tidak mau. Saya masih agak trauma, karena dulu pernah gigi geraham saya dicabut oleh seorang dokter gigi sehingga ada ompong d...