Judul
di atas mungkin tepat untuk merefleksikan apa yang saya dan anak seluruh dunia
rasa, atau paling tidak, pernah merasa. Ibu sebagaimana kita tahu adalah
kepanjangan tangan Tuhan untuk merawat kita di dunia. Diusahakan, dikandung,
dilahirkan, disusui, dirawat, dibesarkan, dididik, diajar, dibimbing,
dinasehati, adalah bentuk karunia luar biasa yang anak rasakan pada umumnya
rasakan, termasuk saya. Alhamdulillah,
Alhamdulillahi katsiro untuk bentuk karunia yang satu ini.
Meski
begitu, seperti suatu keniscayaan saja bahwa setiap anak pasti memiliki
segudang salah terhadap ibunya. Pun saya sendiri. Tak akan cukup mungkin jika
dituangkan dalam tulisan ini. Jika ingat bahwa dulu begitu sering membuat ibu
menangis, rasanya hati ini seperti tersayat L. Semoga Allah
mengampuni saya, dan ibu. Aamiin.
Seringkali
saya merasa tak suka pada sikap ibu; yang meskipun saya tahan, tapi ibu pasti
tahu. Ibu sangat tegas yang kadang terkesan galak, disiplin, diktator, dan
perfeksionis. Ibu juga bukan tipe orang yang selalu memuja- muji anaknya saat
berprestasi. Dulu waktu masih Sekolah Dasar, saya seringkali mendapat juara
pertama, dan waktu SMP hingga SMA sering lima hingga 10 besar. Ibu bangga dan
saya tahu, tapi beliau tetap terlihat biasa saja. Saya iri dengan seorang teman
yang sekali saja bisa masuk sepuluh besar, diberi hadiah dari orangtuanya. Ibu
bukan tipe orang yang bisa menolerir kesalahan juga, beliau tipe orang yang
perfeksionis dalam hal apapun. Diktator
pula, karena sekali berkata tidak
berarti harga mati.
Namun setelah sekian tahun dari rasa
jengkel tersebut, perlahan saya mulai bisa memahami, meskipun masih berproses
pula untuk selebihnya. Ibu tidak pernah terlalu lebay dalam memberi ucapan selamat pada anak- anaknya, tak lain adalah
karena ingin mendidik kami, agar tak mudah lengah diterpa pujian. Agar kami
siap berada pada posisi terbaik kami, tanpa terganggu dengan rasa bangga yang
menyusup terlalu jauh dalam diri. Ibu sangat disiplin dalam hal apapun, agar
kelak pun kita menjadi terbiasa dari apa yang dulu dipaksakan itu; untuk
menutup pintu kembali jika kita masuk dalam keadaan pintu tertutup, untuk
selalu siap bahkan sebelum waktunya (jadwal), untuk selalu bertanggung jawab
pada orang lain, dan lain sebagainya yang tak bisa disebut satu persatu. Betapa
bersyukurnya saya bahwa setelah kuliah dan kos di kota lain, ternyata ada
banyak jenis manusia yang belum bisa menerapkan segala sesuatunya itu, dimana
saya dan kakak- kakak saya bahkan telah “dipaksakan” sedari kecil, sebelum kami
tahu apa itu disiplin dan tanggung jawab.
Meski
begitu, yang kami syukuri betul adalah bahwa kami tetap bisa dekat dengan ibu.
Semuanya, saya dan kedua kakak saya sangat dekat dengan ibu sejak dulu. Mulut
kami mungkin akan terasa gatal jika ada hal yang dipendam dan tak diceritakan
pada ibu. Maka baik tak baik, penting tak penting, kami terbiasa bercerita pada
beliau apapun itu. Bagi kami, nasihatnya adalah yang terbaik dan mewakili
suaraNya di dunia ini. Satu hal lagi, setelah kami mendewasa, ibu telah
“melunak” dan tak segarang dulu. Lalu semakin saya tahu, bahwa segala bentuk
kegarangan beliau dulu tak lain adalah serangkaian mesin cetak untuk membentuk
pribadi kami menjadi yang terbaik. Harapan kami, semoga Gusti Allah selalu
memberikan beliau kesehatan, rahmah, dan keselamatan dunia akhirat. Terima
kasih ibu, matur sembah nuwun. Semoga
kami bisa menjadi kebanggaanmu.
Kudus,
30 Mei 2014
21:57
Komentar
Posting Komentar